- VIVAnews/Tri Saputro
VIVAnews - Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, Maswadi Rauf, menilai pemerintah tidak konsisten dalam menyusun Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta.
"Membuka kesempatan bagi Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam mengikuti pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY di DPRD berarti menjadikan kedua tokoh ini sebagai politisi. Ini tidak sesuai dengan kedudukan mereka sebagai pemimpin tradisional," jelas Maswadi, saat dengan pendapat dengan Komisi II di Gedung DPR, Kamis 17 Februari 2011.
Dia menjelaskan, posisi raja dan politisi berbeda. Politisi, dalam pemahaman Maswadi, bisa dilecehkan dan dicemooh siapapun, termasuk oleh warganya sendiri. "Tapi kalau raja, posisinya harus dihormati."
Selain itu, Pasal 21 ayat (1) RUUK versi pemerintah juga membuka peluang Sultan dan Paku Alam diberhentikan sebelum masa jabatan Gubernur atau Wakil Gubernur DIY berakhir. "Ini berarti membuka peluang bagi tokoh ini untuk dipermalukan secara politik."
Pada saat yang bersamaan RUUK juga membuka peluang adanya Gubernur dan Wakil Gubernur Utama bagi Sultan dan Paku Alam. "Ini ada dualisme. Aturan seperti ini tidak didasarkan atas pemahaman terhadap perkembangan monarki konstitusional."
Wakil Ketua Komisi II DPR, Ganjar Pranowo, sependapat dengan pemaparan Maswadi. "Sebenarnya dari awal kami sudah minta [Pemerintah] dengarkan suara rakyat, akomodasi itu, lalu buatlah rumusannya," kata politisi asal PDI Perjuangan ini. "Tapi kalau punya pikiran lain, konsisten dengan pikiran itu."
Jika pemerintah ingin menempatkan Sultan dan Paku Alam dalam posisi terhormat, "ya, konsisten dengan itu. Artinya, tidak lagi memberikan ruang politik."
Dia menilai draf RUUK versi pemerintah mencoba mengakomodasi semua peluang untuk Sultan dan Paku Alam, termasuk jabatan-jabatan politik. "Sepertinya pemerintah ingin terkesan wise, tapi malah dibilang pakar ini tidak konsisten."