Cara Supaya Premium Tak Perlu Dibatasi

BBM: Pertamina
Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

VIVAnews - Pengamat perminyakan Kurtubi menyayangkan sikap pemerintah yang berencana membatasi konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi, khususnya jenis Premium. Menurut dia, pembatasan hanya akan menimbulkan masalah baru.

Pulau Ini Menjadi Tempat Berlibur Favorit Pangeran William dan Kate Middleton Bersama Anak-anaknya

Sebelumnya, pemerintah berencana menguji coba pembatasan BBM bersubsidi melalui penggunaan sistem Radio Frequency Identification (RFID) kepada 500 angkutan kota M-01 rute Kampung Melayu-Senen pada 1 Juli mendatang.

Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES) yang juga pengajar Pascasarjana FEUI ini mengatakan, saat pembatasan dilakukan, akan terjadi penumpukan kendaraan pada sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Setelah Jokowi, Menlu China Wang Yi Temui Prabowo Subianto

"Bagaimana kalau mereka sudah antre lama dan tidak mendapatkan Premium karena kuotanya habis? Ini hanya akan menimbulkan masalah baru saja," kata dia saat berbincang dengan VIVAnews.com di Jakarta, Selasa 7 Juni 2011.

Selain bisa menimbulkan kerawanan sosial, Kurtubi mengatakan, pembatasan konsumsi Premium akan membatasi kegiatan ekonomi masyarakat. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi bisa terganggu. "Pemerintah harusnya mempertimbangkan itu," ujarnya.

Bila beban subsidi terlalu berat, menurut Kurtubi, pemerintah bisa menaikkan pendapatan di bidang minyak dan gas, sehingga beban defisit anggaran bisa ditekan.

Pemerintah, menurut Kurtubi, bisa menambah pendapatan dengan menaikkan produksi minyak mentah siap jual (lifting minyak) hingga sesuai target. Sebab, saat ini lifting baru 916 ribu barel per hari, jauh di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebanyak 970 ribu barel per hari. "Syukur bisa naik di atas target," ujarnya.

Menurut dia, pemerintah juga bisa mempercepat renegosiasi perjanjian jual beli gas alam cair (LNG) Lapangan Tangguh dengan China. LNG dari megaproyek di Teluk Bintuni, Papua Barat ini, menurut Kurtubi, hanya dijual US$3,35 per satu juta British thermal unit (MMBTU).

Harga ini jauh lebih murah dibandingkan dengan harga gas dari LNG Badak, Bontang, Kalimantan Timur, yang dijual ke Jepang sebesar US$17 per MMBTU. "Kalau pemerintah bisa merenegosiasi dengan China, bisa ada pendapatan tambahan Rp30 triliun per tahun," ujarnya.

Langkah lain, kata Kurtubi, pemerintah bisa secepatnya memasok gas ke Jepang, menyusul adanya permintaan tambahan negara itu. Pasokan gas bisa diperoleh dari LNG Tanggung yang sedianya untuk Sempra Energy, Amerika Serikat. "Perjanjian dengan Sempra masih terkatung-katung. Lebih baik dikirim ke Jepang," katanya.

Bila pemerintah bisa melakukan tiga hal ini, Kurtubi yakin, pemerintah bisa memperoleh tambahan pendapatan hingga Rp50 triliun per tahun. "Pemerintah tak perlu membatasi Premium atau bahkan menaikkan harga BBM," tutur Kurtubi. (art)

Aktris Teater Joo Sun Oak Meninggal Dunia, Mati Otak hingga Pilih Donorkan Organ Tubuh
Menhan RI sekaligus presiden terpilih, Prabowo Subianto menerima telepon dari Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol (sumber foto: Tim Media Prabowo)

Presiden Korsel Beri Selamat ke Prabowo Subianto Menang Pilpres 2024: Semoga RI Lebih Makmur

Presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto, menerima telepon dari Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol. Dalam sambungan telepon itu, Yoon menyoroti besarnya dukungan.

img_title
VIVA.co.id
18 April 2024