Sonny Muchlison

Gaya Keluarga Azhari Selalu Salah

Sonny Muchlison, Kritikus Mode
Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

VIVAnews – Mulutnya seperti silet. Sebagai pengamat fashion, Sonny Muchlison kerap meluncurkan kritik yang memerahkan telinga. Tak hanya gaya selebriti, ia juga menyasar penampilan sejumlah politisi dan pejabat negara.

Salah satu yang menarik perhatiannya adalah gaya keluarga Azhari. “Terutama Sarah. Pakai bra dan bajunyanya cup setengah. Jadi kaya lagi bawa melon pakai mangkok. Besar melonnya daripada mangkoknya,” kata Sonny.

Ia tak pernah takut mengeluarkan kata-kata ‘pedas’ untuk publik figur. Ia hanya mencari strategi untuk membuat seseorang melek mode. Sebagai publik figur, kata dia, pencitraan lewat gaya berbusana sangat penting.

Di sela kesibukannya sebagai dosen, perancang, dan konsultan mode, pria kelahiran 1962 itu menerima VIVAnews di kediamannya, Bintaro, pekan lalu. Berikut petikan wawancaranya:

Seberapa penting penampilan menurut Anda?
Penampilan sangat erat dengan pencitraan. Keluarga saya dari orang miskin, tapi dalam berpenampilan harus diutamakan. Harga diri seseorang secara kasat mata hanya dinilai dari ‘kelahiran’. Dengan kata lain, pembungkus badan itu selalu dinilai orang. Orang miskin atau kaya kan dilihat dari penampilannya.

Itu alasan Anda mengkritik penampilan publik figur?
Selebriti dan politisi adalah publik figur. Pakaian itu sebenarnya bisa digunakan para politisi untuk menarik perhatian wong cilik, tetapi bukan dengan cara yang kampungan. Pakaian itu code and decoding, untuk menterjemahkan misi. Jangan bilang pakaian sekadar penutup tubuh. Pakaian adalah misi untuk menyampaikan ke orang, "Aku membawa pesan."

Siapa selebriti berpakaian terburuk?
Selain Azhari, yang pasti Julia Perez dan Dewi Perssik. Mereka itu sebetulnya ingin mengekspos tubuhnya yang seksi, tetapi dengan cara vulgar. Seksi sebetulnya kan bukan mengumbar tubuh. Tetapi, soal pembawaan, kepribadian dan body language.

Dandanan Kiki Amalia dari dulu hingga sekarang juga selalu salah. Sayangnya dia konsisten dengan salahnya dan terkesan tidak ingin mengubah. Lihat saja, busananya selalu berlebihan. Belum lagi dandanannya, seperti perempuan zaman 'Ernie Johan' (era  1970an). Selalu dengan eyeliner penuh dan tebal, serta tak ketinggalan bulu mata palsu.

Selebriti berpakaian terbaik?
Menurut saya, Atiqah Hasiholan. Ia banyak bergaul dengan para desainer. Barangkali ia belajar dari mereka. Ini membuatnya sangat pintar dalam berbusana. Penampilannya sangat menyita perhatian para desainer lokal maupun internasional.

Dengan tulang pipi yang tinggi, penampilannya semakin sempurna. Struktur wajahnya sangat kuat dan menunjukan kecantikan asli Indonesia. Tugasnya sebagai ikon sabun terkenal juga membuat ia makin berhati-hati dalam berbusana. Itu karena menjaga penampilan merupakan bagian dari pekerjaannya, yaitu menjaga citra dirinya.

Politisi atau pejabat berpenampilan terburuk?
Andi Malarangeng. Gayanya seperti bapak-bapak zaman dulu. Lalu, Marty Natalegawa. Sebenarnya  ganteng tapi kalau pakai baju selalu salah, dan kacamatanya sangat jaman dulu (jadul). Venna Malinda  pun penampilannya masih berlebihan (lebay).

Ibu Ani Yudhoyono menurut saya juga kacau. Kondenya tetep aja sasak dengan gaya genteng. Sebenarnya beliau harus punya konsultan yang bisa dipercaya. Tapi, sejago apapun konsultannya, jika beliau masih keukeuh dengan gayanya dirinya sendiri, ya susah diubah.

Politisi atau pejabat berpenampilan paling baik?
Biasanya yang kenal atau dekat dengan dunia fashion. Seperti almarhum Adjie Madsaid, Angelina Sondakh, juga Miranda Goeltom. Lingkungannya kebetulan orang-orang fashion. Dino Pati Jalal juga, karena istrinya, Rosa Rai, adalah mantan model yang cenderung mengerti fashion. Tantowi Yahya juga oke, dengan gaya  metroseksualnya.

Ada yang takut atau bereaksi negatif saat dikritik?
Ada. Terutama keluarga Azhari. Yang paling salah, terutama Sarah. Dia nggak suka dikritik. Tapi sebenarnya yang bawel itu manajernya. Suka nelpon kalau habis saya kritik.

Takut nggak mengkritik pejabat atau politisi?
Tidak sih, itu kan buat kebaikan mereka. Karena penampilan itu kan terkait pencitraan.

Kenapa harus pedas kritikannya?
Justru itu yang bikin orang sadar. Kalau nggak ‘pedas’ ya orang kecenderungannya cuek. Ini bagian dari strategi untuk membuat banyak orang yang buta mode menjadi melek mode.

Saya ceplas-ceplos keturunan mama saya. Ceplas-ceplos jadi 'karma baik' dan kebiasaan di keluarga kita. Celetukan saya yang to the point dan ‘pedas’ bisa jadi hal yang menyenangkan dan menghibur, sekaligus mengedukasi penampilan orang.

Apa dasar utama saat mengkritik penampilan seseorang?
Saya mengkritik pakai ilmu, bukan ngarang. Jadi ada edukasinya. Pertama dari proporsi tubuh. Sebetulnya inti permasalahan orang berpakaian adalah bagaimana cara mengalihkan pandangan orang lain untuk menutupi kekurangannya. Orang yang mampu mengalihkan pandangan orang lain, untuk mengurangi kekurangan adalah orang yang bisa memaknai penampilan dengan bagus.

Ada pengalaman seru sebagai fashion police?
Dulu saya membawakan program Mata Selebritis di Lativi, yang lalu jadi Expose di TVOne. Pernah pertama-tama liputan, begitu tahu ada saya, sejumlah selebriti langsung kabur, takut jadi sasaran kritikan. Jadi saya sering ngumpet, kalau lagi liputan.

Kami juga pernah buat survei, hasilnya jadi 95 persen wanita yang menonton acara itu, menjadi belajar mode belajar lewat kesalahan selebriti. Lalu, 60 persen pria menonton alasannya karena ingin tahu siapa selebriti yang jadi 'korban' berikutnya.

Adakah orang yang sengaja minta kritikan?
Banyak, apalagi kalau lagi di pesta-pesta. Ada menyodorkan diri untuk dikritik. Ada juga yang takut dikritik. Kadang ada yang bilang, ”Mas saya jangan dikritik ya.” Saya jawab saja, "Tenang Bu, lagi off kok.”

Pernah dibalas kritik nggak?
Saya sebenarnya silahkan saja dikritik orang. Yang paling sering mengkritik, justru mama saya. Terutama soal kelebihan berat badan. Saya naik hampir delapan kilogram setelah tipus. Terus, mama saya bilang, “Sonny kok jadi kaya lemari.”

Apa yang membuat Anda jatuh cinta pada dunia mode?
Mungkin, dunia mode itu sudah mendarah daging. Waktu pertama kali sekolah, saya bercita-cita cuma jadi pelukis. Dari dulu suka mendesain sampai coret-coret tembok, penuh sama gambar-gambar.

Fashion itu jadi part of my life. Jadi semua yang saya lakukan selalu berhubungan dengan fashion. Every body is a lecturer, every body is a tutor. Semua orang harus belajar dan semua orang bisa jadi guru atau pengajar untuk mengajarkan ilmunya pada orang lain.

Bagaimana masyarakat Indonesia memandang tren mode?
Ada beberapa kubu. Ada yang 'in fashion' banget di Indonesia, selalu mengikuti tren yang ada. Ada juga kalangan menengah ke atas yang adaptif, tapi adaptifnya lama. Jadi kita sering ketinggalan mode satu tahun. Jadi seperti melihat orang lain pakai, baru kita contoh. Orang kita belum bisa menentukan.

Agar tak selalu menyontek gaya bagaimana caranya?
Ada tiga unsur. Satu, proporsi, orang mau berpakaian apa saja proporsi tubuhnya harus diperhatikan. Dua, unsur konstruksi. Setelah orang tahu proporsinya harus dikonstruksikan. Ini berhubungan dengan komposisi, bisa berhubungan dengan colour dan siluet.

Tiga, elegansi, pakai baju mahal atau murah kalau tak ada elegansinya ya jadi keliatan baju murah. Orang suka pakai baju mahal tapi kalau bisa dipadukan dengan barang-barang murah dan bisa menunjukkan elegansi akan menjadi bagus.

Bagaimana awal karier di dunia mode?
Waktu baru masuk kuliah, ditawari magang Harry Darsono yang waktu itu memegang Batik Keris. Saat itu, saya kuliah jurusan desain, maka diminta untuk mendesain. Dibawa ke Pekalongan hingga NTT. Setelah selesai kerja bareng Harry Darsono, saya ingin punya pengalaman lain lagi, akhirnya saya ikut dengan Prajudi.

Dulu juga sering kasih pelatihan karena diminta dosen. Sampai pergi ke Jayapura. Jadi saat kuliah, saya sudah punya banyak pengalaman. Pengalaman tersebut saya kembangkan dan bagi lagi ke masyarakat luar.

Kebetulan, tahun 1987 setelah lulus dari Jurusan Desain Tekstil Institut Kesenian Jakarta, saya makin dipakai, keliling terus. Awalnya, saya juga jadi pegawai Departemen Perindustrian. Cuma saya merasa kok jadi nggak kreatif gitu. Berangkat pagi pulang sore. Akhirnya saya minta jadi honorer.

Lalu, pada tahun 1989, kebetulan saya ikut lomba rancang busana untuk koleksi adibusana, saya masuk finalis lima besar. Cuma waktu eksekusi pemenangnya saya tak dapat. Saya pikir, seru juga tuh kerja di media. Sempat jadi finalis, saya pun ditawari kerja.

Dengan pengalaman nol, bahasa Inggris masih gelagapan, akhirnya ditaruhlah saya, dicemplungin di redaktur mode, majalah milik BM Diah. Di sana aku belajar dari mentor-mentor yang bagus, bagaimana cara menulis yang benar, bukan sekedar ngisi tulisan tapi bagaimana, bikin cover story,  bagaimana pilih busana, cara membuat  rancangan majalah, editing dan sebagainya. Tetapi disana cuma dua tahun, karena majalah itu gulung tikar.

Setelah itu saya ditawari untuk masuk Femina, sekitar tahun 1991-1992. Saya pun bisa ke luar negeri, seperti Paris, London , Milan , New York. Sejak itu, saya bisa pergi keliling Indonesia gratis, keluar negeri juga gratis, dibayar pula.

Keluar dari Femina, pada 2001, saya merasa pengalaman kerja di media sudah tak ada tantangan lagi. Setelah itu saya kebetulan langsung ditawari untuk mengurus program mode di Metro TV. Tapi,  2005 saya keluar karena tak tahan dengan pekerjaannya. Dulu programnya, Beauty and Style, tapi setelah saya keluar programnya mati.

Selain menjadi perancang, pengamat sekaligus konsultan mode, saya juga masih aktif menjadi dosen. Saya menjabat Ketua Program Studi Seni Kriya, Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta.

Satu kalimat menggambarkan penampilan Anda?
Saya cinta Indonesia dengan balutan baju-baju dari lurik. (eh)

MAKI Kirim Surat ke Nurul Ghufron, Minta Bantuan Mutasi ASN di Papua ke Jawa
LPS gelar jumpa pers di Kota Medan.(B.S.Putra/VIVA)

Kantor LPS Bakal Hadir di Medan, Diresmikan 3 Mei 2024

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kini membuka Kantor Perwakilan LPS I Medan, di Gedung Sinarmas Plaza, Kota Medan.

img_title
VIVA.co.id
26 April 2024