Ansyaad Mbai

"Indonesia Surga Para Teroris"

Kepala BNPT
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVAnews –Sejak aksi pemberantasan terorisme dilakukan pasca Bom Bali hampir satu dekade lalu, sejumlah gembong teroris mati ditembak aparat. Sebut saja Dr Azahari, Dulmatin, dan Noordin M Top, dan eksekusi mati para pelaku bom Bali. Tapi, sederet aksi teror masih saja muncul. Terorisme belum lagi tumpas.

Industri Laboratorium Makin Kinclong, Lab Indonesia 2024 Soroti Hal Ini

Belum lama ini seorang anak muda meledakkan dirinya di masjid kompleks Mapolresta Cirebon. Lalu satu rencana besar aksi teror bom nyaris berhasil meledakkan pipa gas di Serpong. Beberapa pekan lalu, dua polisi tewas dihajar peluru di depan Bank BCA Palu. Pelaku diduga dari jaringan teroris.

Di tengah derap pemberantasan aksi teror, mengapa jaringan teroris itu tetap tumbuh subur, dan makin tak tertebak?  “Hukum kita terlalu lemah,” ujar Kepala Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) Inspektur Jenderal Polisi Ansyaad Mbai. Maka tak heran, jika mantan Kepala Desk Anti Terorisme di Kantor Menkopolkam itu mengatakan para gembong teror suatu saat akan memilih Indonesia sebagai pangkalan.

Dorong Ekosistem Ekonomi Keuangan Digital, BI Bali Gelar Baligivation Festival 2024

Apa sebetulnya kendala dari penganggulangan aksi teror itu? Berikut petikan wawancara wartawan VIVAnews.com dengan Ansyaad Mbai, awal Juni lalu.

Setelah para gembong teroris mati, sejumlah wajah baru malah muncul. Jaringan ini makin tak tertebak?

Gibran Diberi Wejangan Ma'ruf Amin: Presiden dan Wakil Presiden Harus Kompak

Yang pasti, ketika kita lengah mereka akan beraksi. Memang melawan terorisme harus adu kuat. Masalahnya di alam demokrasi ini kita tak bisa melakukan cara-cara yang bersifat tindakan preventif dalam arti militer. Dan tidak mungkin kita pakai cara-cara lama.

Kalau pakai cara lama seperti zaman Orde Baru cepat selesai urusan ini. Misalnya, kalau ada satu seorang teroris katakan seperti di Poso dan Palu, ya sekampung itu bisa diambil, semua dimasukkan tahanan tanpa proses. Ya cepat selesai, tapi konsekuensinya akan ada banyak pelanggaran HAM. Apalagi negara kita saat ini sangat berkomitmen menghormati HAM dan juga hak demokratis warga.

Dulu, kalau ada orang bicara ingin memberlakukan suatu ideologi selain Pancasila, langsung ditangkap. Apalagi ingin mendirikan negara Islam seperti para teroris itu. Tapi sekarang ini Anda lihat orang bicara soal ideologi, soal negara Islam, syariat Islam itu kan bebas bahkan lebih parah mereka gunakan media yang sensitif yaitu media keagamaan. Misalnya dakwah di tempat ibadah. Mengapa kelihatannya teroris tak selesai-selesai, karena memang persiapan aksi teror itu sangat bebas mereka lakukan tanpa bisa ditindak. Terdeteksi iya. Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Soal tindakan preventif. Mengapa aparat bertindak setelah aksi teror?

Itu kuncinya, karena situasi, strategi yang diambil pemerintah bersifat reaktif, jadi hanya bekerja setelah terjadi aksi. Tindakan preventif sebelum mereka bertindak sangat kurang, karena keterbatasan. Kita dibatasi oleh -- jangan melanggar HAM misalnya, jangan merusak proses demokrasi. Ketika orang mau berteriak mau negara Islam, syariat Islam, itu kan hak asasi katanya. Sekarang tiap negara akhirnya punya pilihan yang berbeda-beda. Ya semua negara kan komitmen pada demokrasi, tapi pilihan proses mekanisme menuju ke situ (pencegahan terorisme) itu berbeda-beda. Kita kelihatannya yang paling soft. Oleh karena itu sering dikatakan, hukum kita dalam menangani terorisme ini yang terlemah.

Ukurannya apa?

Contoh tindakan awal tentang provokasi ideologi, dan bentuk negara. Bagi kita di era reformasi ini, hal itu belum kejahatan. Tapi saat Orde Baru jangankan cerita begitu. Oke, kita tidak ingin kembali ke masa lalu. Tapi, lihat negara lain. Semua negara, perbuatan yang sifatnya provokatif seperti itu, adalah kejahatan. Apalagi tindakan yang sudah melakukan fisik seperti latihan paramiliter yang jelas-jelas dilakukan orang-orang yang baru keluar penjara karena kasus teroris. Seperti Poso itu terjadinya tidak ujug-ujug. Mereka sudah berapa kali melakukan pelatihan, tapi polisi tidak bisa apa-apa. Untuk diketahui, setiap aksi teror pasti melalui pelatihan, dan setiap latihan selalu terdeteksi tapi tidak bisa ditindak. Itu yang saya katakan sangat lembek.

Ada contoh lain yang menunjukkan hukum kita lemah?

Mungkin ada pertanyaan lebih jelas kenapa Dr Azhari dan Noordin M Top melakukan aksinya di Indonesia bukan di Malaysia? Sering kita berpikir tidak cerdas mengatakan, jangan-jangan  Malaysia sengaja melepas orang-orang mengacaukan Indonesia karena tidak ingin Indonesia maju.

Menurut saya, itu pemikiran yang tidak cerdas. Kita lihat secara obyektif, Malaysia aturannya ketat, mereka (teroris) tidak punya ruang gerak. Abu Bakar Ba’asyir kan bikin JI (Jamaah Islamiyah) di sana tapi ia kemudian lari terbirit-birit balik ke Indonesia karena mau ditangkap karena kegiatan yang dilakukannya itu sudah dianggap provokasi untuk melakukan tindakan kekerasan. Pesantrennya di sana dibubarkan, ditutup. Kalau kita apa yang bisa kita lakukan dengan itu? Indonesia istilah asingnya hotbed for terrorists, "surganya teroris”.

Kelemahan hukum ini sejak kapan?

Sejak dicabutnya semua perundang-undangan, yang tadinya adalah benteng radikalisme dan terorisme. Yang paling menonjol itu UU Subversif. Itu konsekuensinya cukup luas termasuk semua institusi pemerintah yang tadinya sangat efektif mencegah aksi teroris, dibubarkan. Contoh seperti Kopkamtib kemudian peran teritorial dari TNI. Saya tak mengatakan itu baik semua, konsekuensinya memang banyak pelanggaran HAM. Yang ingin saya katakan, dari aspek efektifitas, lepas dari dampak negatifnya. Itu sekarang terjadi kekosongan di masyarakat kita. Kalau dulu misalnya yang ceramah seperti Abu Bakar Baasyir sudah lama ditangkap oleh aparat teritorial. Nah sekarang ini kan aparat tak boleh, intelijen juga tidak boleh ikut campur. Dulu memang terlalu eksesif, sangat kuat. Tapi menurut saya kenapa bukan dampak negatifnya yang kita hilangkan tapi efektifitasnya bisa kita pertahankan?

Pada 19 April lalu presiden sudah mengumpulkan menteri, gubernur, Panglima TNI dan Kapolri memerintahkan supaya bersinergi antara TNI, Polri, Pemda untuk melawan terorisme dan radikalisme. Memang kuncinya itu. Tanpa itu kita selalu akan kecolongan, dan kita tahu mereka ini sangat militan ditangkap, bukan kapok malah muncul keinginan untuk balas dendam.

Seperti di Medan di Hamparan Perak, di Jawa Tengah sekarang di Palu. Mereka tidak kapok. Padahal kita hadapi dengan cara too soft, terlalu soft. Itu juga masih diintai terus sama aktifis HAM, alasannya pelanggaran HAM. Padahal, tanpa disadari teroris ini adalah pelanggar HAM yang berat. Jadi kita sedang berhadapan dengan orang yang tidak peduli HAM menganggap pembunuhan, perampokan cara yang halal bahkan dianggap itu jihad. Sementara kita dengan cara-cara soft menjadi sempit ruang geraknya.

Terorisme tak bisa beraksi tanpa disokong dana. Sejauh ini bagaimana pelacakan sumber dana teroris itu?

Banyak sumber dana mereka. Tetapi paling favorit itu ya merampok, yang mereka sebut fa'i. Dan itu tidak haram. Itu perintah agama merampok untuk "jihad". Dari luar negeri juga ada. Tapi terbanyak mereka cari sendiri. Ada juga macam iuran dari anggota mereka. Itu kan sudah terbukti di Abu Bakar Baasyir dengan dibiayai pelatihan di Aceh.

Para teroris yang bergerak ini, ke mana afiliasi jaringan internasionalnya?

Sejak tahun 2000 kan kita tahu JI- nya Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar. Mereka mengasosiasikan diri dengan Al Qaeda. Mereka sendiri mendeklarasikan diri sebagai Al Qaeda Asia Tenggara. Tapi sebetulnya itu tidak terlalu penting. Sebab, sebelum Al Qaeda muncul, memang radikalisme seperti itu kan sudah ada homeground dari DI (Darul Islam) atau NII (Negara Islam Indonesia). Itu cikal bakalnya. DI dan NII itu adalah ibu kandung dari sejumlah aksi teror yang terjadi. Al Qaeda muncul sebagai penguatan untuk itu.

Anda menyebut DI dan NII. Ada jejak dari aktor lama?

Pasti selalu begitu, karena ini kan ideologis, punya agenda politik. Siapa tokoh ideologisnya selalu kiblatnya dari sana. Seperti sekarang ini kan aksi di Poso-Palu itukan karena pimpinannya ditangkap. Ini pembalasan.

Lalu, seberapa besar peran Abu Bakar Baasyir? Sepertinya dia dikaitkan dengan banyak aksi teror?

Dia itu seperti Osama Bin Laden-nya Indonesia. Tak hanya itu, dia itu Osama bin Ladennya Asia Tenggara. Lho, Ba’asyir pernah dihukum tapi dakwaan bukan tindakan teroris. Ya, itu yang saya katakan. Hukum kita terlalu lembek, salah satunya implikasinya ke situ.

Tapi Baasyir kini kembali diajukan ke pengadilan.

Saya tidak tahu putusan pengadilan. Tapi yang saya lihat kali ini buktinya sangat kuat. Lha wong uang dari dia dikasih orang ke Dulmatin, ketemu Abu Tholut, yang mengantarkan uang sudah cerita semua kok mau apalagi. Tinggal Tuhan saja yang belum cerita.

Ada hasil penelitian Australia yang mengatakan penjara Indonesia jadi surganya teroris.

Itu dia hukum kita terlalu lembek. Saya yakin perannya akan berkurang asal kalau sudah dihukum jangan lagi jadi pahlawan dalam penjara, di dalam penjara terus memprovokasi. Sialnya, sudah tahu hukum kita lembek, tapi setiap upaya memperkuat hukum kita itu langsung dicurigai dengan pelanggaran HAM. Ini yang harus kita sadari. Pilihan ada pada kita sekarang, mau aman atau terus seperti ini.

Rancangan UU Intelijen sedang dibahas oleh DPR. Apa saja masalah yang ingin Anda majukan?

Banyak. Pertama kita ambil pengalaman selama 10 tahun. Seperti contoh latihan militer itu, mestinya dihukum karena semua negara menghukum itu. Nah kalau dimana-mana dihukum, di kita nggak, jangan heran kalau teroris dunia kumpulnya di sini nanti.

Kemudian kegiatan awal memprovokasi, menganjurkan melakukan kekerasan, berjihad membunuh orang kafir, itu mestinya kejahatan. Bukan mengada-ngada. Orang lain begitu, kenapa kita nggak dan dirasakan itu kebutuhan kita. Kemudian ancaman hukuman diperberat. Dalam hal investigasi, anak-anak merasakan selalu dikejar waktu masa penahanan terlalu singkat padahal nyatanya setiap jaringan teroris seperti di Palu, Poso itu para tokohnya kebanyakan dari Jawa dari Solo. Dia berkaitan dengan Baasyir, Abu Tholut, berkaitan dengan tokoh-tokoh lain, berkaitan kasus bom di Cirebon, berkaitan dengan teroris yang tertangkap di Depok, menyuplai senjata berkaitan juga dengan teroris di Ambon dan Poso. Itu diperlukan waktu mengecek kalau tak risikonya mereka bebas dan melakukan aksi teror.

Atau seperti pada kasus Bom Kuningan, di depan Kedubes Australia. Yang namanya Air Setiawan itu tertangkap waktu itu, tapi dilepas karena belum cukup buktinya. Sedangkan waktu penahanan sudah mau habis terpaksa dilepas. Nah kenyataan setelah bom Marriott 2009, ternyata dia itu sudah disiapkan bom bunuh diri dengan target SBY. Nah itu apa artinya, polisi terburu-buru melepas karena habis waktu.

Kedua, dari lebih kurang seratus anggota jaringan teroris yang latihan di Aceh. Itu ada sekitar 20 orang baru selesai dari penjara untuk kasus yang sama. Abu Tholut contohnya. Dia baru keluar penjara, sudah melatih lagi di sana. Itu apa artinya kurang lama dipenjara, atau bagaimana. Memang bukan jaminan orang dipenjara berubah. Tapi paling tidak, ketika dipenjara, nggak mungkin dia ada di Aceh sana. Di semua negara melakukan seperti itu hukumnya, diamandemen bila kurang berat, diperberat lagi.

Ada pula tudingan, aksi teroris dipakai juga untuk pengalihan isu. Misalnya di saat pemerintah tak populer?

Saya kira itu pemahaman orang-orang yang tidak tahu persis permasalahan terorisme. Semua orang sekarang sibuk bicara politik. Partai berebut kekuasaan. Lalu setiap gejala yang terjadi dikait-kaitkan, padahal tidak. Tidak ada pemerintah, yang segila apapun, sekarang yang mau bermain-main seperti itu ya. Masa untuk kepentingan politik terus nyuruh orang ngebom. Nggak ada lagi orang gila seperti itu, sudah sangat mustahil itu.

Tapi ya itu dalam politik semua amunisi kan bisa dipakai untuk melawan musuh politiknya. Dulu kalau ada kejadian, jangan-jangan ini untuk mengalihkan perhatian isu kasus Century. Terus baru-baru ini di Palu untuk mengalihkan kasus Nazarudin. Sama seperti NII itu kan banyak yang mengatakan ini yang dipelihara oleh intelijen. Tidak. Saya sudah sering diskusi dengan orang yang dicurigai memelihara itu NII. Saya dalami betul pengalaman itu, saya tahu ada betulnya (dipelihara) tapi banyak tidak betulnya.

Apa sebenarnya yang ada di kepala generasi baru teroris?

Sebenarnya mereka tidak terlalu hebat-hebat juga. Kalau kita sudah tangkap dan bergaul dua tiga hari nurani kita tergetar juga, kok. Anaknya baik, manusiawi. Pepi Fernando misalnya. Saya ketemu, ngobrol, dia diborgol sambil makan jeruk, juga merokok. Saya berpikir anak ini baik, bukan tampang teroris. Mukanya halus, jenggotnya juga sopan.

Apakah yang seperti Pepi Fernando itu tipikal baru teroris?

Pepi ini unik. Dia tidak ada kaitannya dengan kelompok mana-mana secara fisik. Meski ideologi sama. Saya tanya untuk apa kamu begitu, untuk bunuh? “Nggak juga pak.” Tapi untuk apa? “Saya kepingin jihad itu ramai lah.” Saya percaya itu murni dia jawab.

Dari mana dia belajar membuat bom?

Dari internet sama buku-buku. Itu kan banyak download dari internet. Dia sendiri yang gergaji paralon, pipa itu. Waktu saya ngobrol sama dia, tangannya itu masih ada bekas hitam-hitam. Jadi Pepi itu memang unik. Tapi ideologinya memang benar dapatnya dari tokoh NII, Abu Kholis pimpinan NII Sumatera. Tapi bukan dari situ dia dapat perintah ngebom. Tapi dari diri dia sendiri.

Soal proses deradikalisasi. Bagaimana kelanjutannya?

Deradikalisasi ini bagaimana mencegah masyarakat yang belum kena pengaruh agar tidak kena. Kita butuh para ulama untuk berdakwah menandingi itu. Tapi jangan mimpi kalau ulama bicara selesai urusan. Ini bagi yang belum kena pengaruh.

Yang sudah kena pengaruh, ulama, kyai tidak ada gunanya. Juga nggak mempan lagi, terutama yang sudah teroris. Bagi teroris sekaliber Imam Samudera cs, para ulama, kyai sekaliber apapun, kecil bagi mereka. Yang didengar ulama yang di medan perang. Lalu siapa? Orang-orang yang di dalam ini harus bisa kita rangkul. Yang paling penting, bagaimana kita bisa berkolaborasi dengan orang-orang yang masih di dalam. Itu pekerjaan intelijen.

Siapa sasaran aksi teror dari generasi baru itu?

Sebenarnya sama. Tidak berubah. Sasaran mereka siapa pun yang dianggap menghambat untuk mencapai tujuan. Yang menurut dia menghambat itu adalah Barat, dan domestik. Kebetulan yang Barat sudah waspada. Tapi yang domestik ini masih pede (percaya diri). Polisi yang jaga soal ini kan baru Densus. Itu (polisi biasa) dianggap jadi mangsa. Sekarang mereka yang jadi bulan-bulanan.

Sejauh ini ada perluasan daerah aksi teror?

Itu transparan sekali kok. Ada tiga: Sulawesi, Jawa khususnya Barat dan Tengah, terus Sumatera. Dan itu adalah historis. Dulu kan munculnya dari situ semua, nggak jauh-jauh.(np)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya