DIREKTUR EKSEKUTIF MIGRANT CARE ANIS HIDAYAH:

"Pemerintah Menyederhanakan Masalah TKI"

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah
Sumber :
  • VIVAnews/Bayu Galih

Bumi Resources Minerals Bukukan Pendapatan US$46,63 Juta pada 2023

VIVAnews - Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia kembali jadi perhatian setelah Ruyati binti Satubi dieksekusi mati dengan cara dipancung di Arab Saudi. Kecaman pun terus ditujukan kepada eksekusi mati Ruyati, apalagi hukum pancung itu dilakukan tanpa pemberitahuan kepada pemerintah Indonesia terlebih dahulu. Pemerintah Indonesia pun mendapat kecaman karena dianggap tidak mampu memberikan perlindungan kepada warga negaranya di luar negeri, terutama kepada para TKI yang merupakan pahlawan devisa.

Untuk mengatasi permasalahan TKI, pemerintah Indonesia kemudian memutuskan melakukan moratorium atau penghentian pengiriman TKI ke Arab Saudi mulai 1 Agustus 2011. Selain itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga membentuk Satuan Tugas TKI untuk membantu TKI yang terjerat masalah hukum di luar negeri.

3 Skincare Ini Jadi Paling Diandalkan oleh Penggunanya

Namun, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menilai pembentukan Satgas TKI tidak akan efektif. Karena selama ini pemerintah masih melihat permasalahan TKI berdasarkan angka. Anis Hidayah melihat masih banyak permasalahan TKI yang harus diselesaikan.

Saat ditemui VIVAnews di kantor Migrant Care, Anis Hidayah kemudian merinci sejumlah permasalahan yang dihadapi buruh migran. Berikut petikan wawancaranya:   

PKB dan PKS Sepakati Koalisi di Pilkada Serentak 2024, Khususnya di Jateng dan Jatim

Setelah Ruyati dieksekusi mati di Arab Saudi, masyarakat seakan sadar bahwa banyak permasalahan TKI di luar negeri. Kenapa selama ini masalah TKI begitu tidak diperhatikan?

Saya kira mindset pemerintah melihat persoalan TKI memang bermasalah, karena selama ini mereka sering dilihat dari sisi angka. “Kan hanya sekian yang terkena masalah,” begitu kata mereka. Selalu mengecilkan persoalan pada sisi angka. Padahal dari sisi lain, sisi Hak Asasi Manusia, satu masalah menjadi masalah besar bagi pemerintah Indonesia.

Ketika Ruyati kemudian muncul, saya kira jadi sinyal kuat bahwa pemerintah tidak pernah beranjak keluar dari mindset tadi, persoalan angka, bukan persoalan HAM. Sebenarnya kita pernah kecolongan. Yanti Irianti, itu juga dieksekusi mati di Saudi, kita tidak pernah tahu sama sekali. Tak pernah tahu bagaimana proses hukumnya, tak pernah tahu sikap protes pemerintah ke Arab seperti apa. Yang keluar hanya SBY press conference, sama seperti kemarin (kasus Ruyati), dan bikin instruksi pemulangan jenazah Yanti. Kami masih simpan naskah pidatonya, tapi sampai sekarang tak pernah ada kabarnya.

Saya kira itu indikasi mindset negara ini terhadap masalah TKI. Sehingga solusi yang diambil pun saya kira hanya menyederhanakan masalah. Satgas itu kan menyederhanakan masalah. Persoalannya bukan hanya hukuman mati. Saya kira itu fenomena gunung es yang runtutannya panjang. Mestinya kan digali, ini kok dari tahun ke tahun masalah hukuman mati tidak pernah surut, tapi tambah kencang, tambah banyak, tambah bermasalah juga pola bantuan hukumnya.

Karena ini rentetan dari lemahnya kebijakan, belum mapannya sistem perlindungan, tak bekerjanya instansi-instansi yang selama ini ada, anggaran juga tidak pernah jelas larinya ke mana. Saya kira menjadi tegas ketika BPK bulan Maret mengeluarkan audit kinerja, itu kan buruk semua kinerjanya (instansi yang terkait dengan TKI).

Kemudian, menyakitkan sekali komentar beberapa pejabat publik, dari Kemenlu juga KBRI: “Dalam 10 tahun hanya 3 kok yang dieksekusi mati.” Itu katanya. Bagaimana mungkin, Negara ini katanya berlandaskan kepada HAM, dan hak hidup itu hak yang bisa ditukar dan dijamin konstitusi. Kok masih bunyi statemen-statemen seperti itu. Itu kan menjadi penegasan bahwa perspektif mereka terhadap masalah TKI memang sangat buruk.

Tapi Pemerintah kemudian melakukan moratorium TKI ke Arab Saudi?

Sebenarnya moratorium bukan segalanya, kita tahu persoalannya kan kompleks. Tidak bisa hanya ambil jalan keluar yang simpel, dengan hanya menghentikan. Tetapi paling tidak itu kan kemudian waktu jeda kedua Negara untuk merekonstruksi pola-pola kerjasama yang lebih manusiawi. Bagaimana kedua Negara menempatkan masalah buruh migran yang saling menghormati. Tapi Indonesia memutuskan moratorium kan sangat lambat, 1 Agustus. Arab per 2 Juli sudah memutuskan untuk tidak mengeluarkan visa. Jauh lebih cepat mereka, dan itu menyakitkan.

Tindakan Arab Saudi cepat dan menyakitkan bagi Indonesia, kenapa pemerintah terkesan tak menanggapi?

Lah iya.. Itu yang mestinya kita lakukan terhadap Arab. Dari awal Migrant Care bilang marah kok dikredit sih. Mestinya tunjukkan kalau kita marah, nota protes diplomatik dan moratorium sekarang juga.

Waktu kasus Sumiyati (TKI yang disiksa di Arab Saudi), Presiden bilang akan evaluasi masalah TKI, tapi evaluasi berjalan lambat dan baru moratorium sekarang. Seperti Apa Anda melihatnya?

Itu memang berpulang kepada pola kepemimpinan SBY yang dalam banyak hal lambat memutuskan masalah. Penuh pertimbangan, selalu menjaga hubungan diplomatik kalau terkait politik luar negeri. Padahal saya kira, untuk apa hubungan diplomasi dibangun di atas nyawa saudara-saudara kita. Pancung, penyiksaan, dan lain sebagainya. Itu tidak berarti apa-apa. Yang lebih riil adalah bagaimana hubungan diplomatik dibangun di atas penghormatan terhadap itu semua.

Dalam kasus Sumiyati, SBY menyebut akan memberikan handphone kepada TKI agar bisa mengadukan jika ada permasalahan yang dihadapi, apa itu berjalan?

Tidak ada. Kan kita protes habis-habisan. Kami sindir juga, kalau ada TKI yang mau disiksa, sms saja ke SBY. Ketik “reg” spasi “disiksa”, kirim ke SBY. Pasti jawabannya “tulalit”. Jadi kita menyindir itu. Tapi memang, selama ini pemerintah perspektifnya angka, bukan HAM. Kedua, menyederhanakan masalah. Bagaimana masalah serumit dan sesistematis itu dijawab dengan HP, sekarang dengan satgas TKI, besok apalagi. Itu pendekatan keliru. Persoalan TKI sangat besar, sistematis, terkait kebijakan dalam negeri, kebijakan bilateral, mindset, macam-macam. Jadi yang harus diperbaiki dari situnya.

Setelah kasus Sumiyati bukankah ada Nota Kesepahaman (MoU) dengan Arab Saudi mengenai perbaikan, termasuk asuransi untuk TKI?

Kalau kecurigaan saya, boleh kan saya curiga. Pasca kasus Sumiyati, itu kan minat masyarakat ke Indonesia turun drastis, konon sampai 70 persen. Ini bukan karena pengetatatan Kementerian Tenaga Kerja, dan sebagainya. Itu emosi publik, yang melihat sendiri bagaimana proteksi pemerintah terhadap TKI di Saudi itu sangat lemah. Untuk mendorong lagi minat itu, ya membangun pencitraan, seperti akan ada MoU dalam 6 bulan.

Nah, celakanya, baru beberapa lama dibangun, belum lama pulang, kok dia juga tidak tahu di Arab Saudi ada yang mau dieksekusi mati. Ruyati dieksekusi. Artinya, apa yang selalu kita dorong untuk perbaikan buruh migran tak berlandaskan realitas.

Menkumham juga kemudian pernah mengirim permohonan maaf kepada Raja Saudi untuk pembebasan WNI, namun tidak dikabulkan. Sedangkan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, hanya dengan telepon dikabulkan? Diplomasi gagal?

Itulah, pola diplomasi perlu inovasi dan kreatifitas. Saya kira dengan Arab kan perlu pola sendiri untuk membangun diplomasi dan komunikasi. Tidak sembarang pejabat publik bisa melakukan. Saya tidak mengecilkan Patrialis Akbar, tetapi dengan kultur hukum di Arab seperti itu perlu orang yang memahami sisi-sisi lain di mana kita membangun sistem komunikasi yang menguntungkan.

Seperti Gus Dur kan dia punya background yang cukup lama dengan Arab. Punya jaringan, punya trust. Itu juga menurut saya, SBY harus mulai melihat. Misalnya dalam menempatkan dubes, pejabat publik, harus sesuai kapasitas, integritas dan kredibilitasnya. Sehingga tak diremehkan negara lain.

Seperti yang saya katakan, pola-pola yang dibangun semu. Seolah-olah tidak ingin tampak ada masalah. Dengan Malaysia juga seperti itu. Ketika dia kunjungan ke Malaysia. Kalau mau, berangkat dari persoalan riil TKI kita di sana, pemerintah Malaysia juga tidak berbuat semaunya kok.

Termasuk dengan Saudi. Sangat menyakitkan Dubes Arab Saudi diterima di Istana Presiden saat emosi dan solidaritas publik terhadap Ruyati begitu luar biasa. Itu saya kira menyakitkan hati masyarakat. Lebih baik menerima keluarga Ruyati misalnya, atau menerima keluarga dari 20-sekian TKI yang terancam hukuman mati. Beri penjelasan dia mau ngapain, mau membela di garda depan. Itu jauh lebih penting.

SBY kemudian membentuk Satgas TKI untuk membantu TKI yang terjerat kasus hukum. Apakah akan efektif?

Itu kan pensiunan semua, itu satu. Kalau pensiun kan produktivitasnya sudah berbeda dibanding kinerja orang-orang yang di usia produktif. Makanya dalam banyak hal jabatan tertentu dibatasi usia kan memang untuk itu.

Terkait integritas, tak ada yang memiliki background dalam hal prestasi membela buruh migran. Maftuh (Basyuni, Kepala Satgas TKI) punya background tentang Arab, tapi apa itu cukup, kan juga tidak. Jadi keberpihakan, prestasi tentang pembelaan buruh migran juga harus dilakukan. Dia jadi Menteri Agama tahun berapa? Itu kan juga tidak jelas kontribusi dia waktu itu untuk buruh migran di Arab. Itu juga mempengaruhi Satgas akan bisa bekerja maksimal atau tidak.

SBY tidak percaya dengan instansi yang ada dengan membentuk Satgas TKI?

Ya jelas. Ketidakpercayaan. Itu juga menegaskan kegagalan instansi-instansi yang ada soal perlindungan TKI kita.

Untuk Satgas TKI, langkah mendesak apa yang harus dilakukan?

Saya sebenarnya tidak percaya Satgas TKI. Apalagi masa kerja hanya 6 bulan. Hukuman mati itu panjang prosesnya, bertahun-tahun. Jadi saya tidak bisa berikan rekomendasi apa-apa.

Menurut saya yang terpenting yang harus dilakukan pemerintah adalah keberanian untuk ratifikasi. Pemerintah harus bisa memberikan sistem perlindungan, mekanisme penempatan yang baik, asuransi, pendidikan dan pelatihan untuk TKI, juga regulasi. Itu dulu yang harus dilakukan.

Sebenarnya apa yang harus diperbaiki, terutama dari regulasi?

Saya kira ini momentum yang besar. Ruyati mengorbankan diri jangan dilihat sebagai sebuah kasus. Tapi sebagai sebuah momentum untuk melakukan perbaikan kebijakan. Sekarang yang paling urgen adalah Indonesia harus segera meratifikasi konvensi buruh migran. Konvensi tahun 1990 tentang perlindungan untuk buruh migran dan keluarganya. Serta konvensi ILO (International Labour Organization, Badan PBB di bidang Tenaga Kerja) terkait migrasi tenaga kerja.

Apa pentingnya ratifikasi itu, konvensi itu kan secara umum menjamin hak-hak buruh migran secara mendasar. Mulai dari sebelum berangkat, ketika bekerja, dan kembali ke tanah air. Jaminan-jaminan yang mestinya diatur dalam kebijakan nasional kita. Jadi ini akan menjadi dasar bagaimana Indonesia keluar dari kebijakan yang selama ini menempatkan TKI sebagai komoditas, sebagai obyek pemerasan, obyek bisnis penempatan. Itu yang paling urgen sekarang. Ketika sudah benar kebijakannya, saya kira tinggal pengawasan dan implementasinya. Tapi kalau secara hukum saja tidak benar, sudah repot ya.

Apa ada contoh negara yang bagus dalam kebijakan buruh migran?

Saya kira Filipina. Sangat sering disebut, tapi faktanya Filipina punya kebijakan yang lebih baik dari kita. Dengan ratifikasi itu, kemudian jadikan itu sebagai landasan nasional mereka dalam perlindungan Tenaga Kerja.

Filipina berani menaruh standar itu ke negara lain dan punya sekitar 49 MoU dengan negara lain. Di situ meletakkan standar mereka, dari gaji minimal harus 400 dollar, harus ada hari libur, jam kerja 8 jam, boleh berserikat, dan sebagainya. Itu yang tidak dimiliki Indonesia. Tidak punya keberanian dan bargaining position yang sejauh itu.

Apa moratorium akan berpengaruh pada pendapatan negara dan masyarakat?

Saya kira pemerintah perlu jujur. Kerugian kita menempatkan TKI di Arab Saudi itu jauh lebih besar. Jadi jelas di sana lapangan pekerjaan tidak layak. Kedua, ancaman hilangnya nyawa akibat penyiksaan, pemancungan, itu kan jauh lebih berat dan tidak ternilai dibanding hasil kerja mereka.

Indonesia harus mulai berpikir keselamatan warga negara. Itu jauh di atas segalanya daripada soal lapangan pekerjaan dan lain-lain. Itu yang harus diciptakan di dalam negeri saya kira. Soal kebutuhan mereka bekerja di negara orang, bisa beralih ke negara lain yang lebih respek terhadap hak asasi manusia, terhadap perempuan, dan lain-lain. Jangan khawatir kerugian berapa triliun dan macam-macam. Itu tidak berarti apa-apa dibanding satu kepala Ruyati misalnya.

Selain Arab Saudi, data Kemenlu memperlihatkan masalah terbesar ada di Malaysia. Apa beda Arab Saudi dengan Malaysia?

Saya lihat Malaysia lebih transparan menyampaikan persoalan-persoalan riil menyangkut warga negara kita di sana. Menyangkut persoalan hukum atau yang lain. Tidak ditutupi seperti di Arab. Di KBRI Kuala Lumpur itu kita bisa membaca data. Kita tahu siapa yang mati, siapa yang terancam hukuman mati. Lain dengan di Arab Saudi, tahu-tahu sudah dipancung. Jadi ada transparansi.

Ada perbedaan itu karena KBRI-nya atau pemerintah masing-masing negara?

Dari KBRI juga. Ini kultur ya. Jadi kultur birokrasi di sana harus mulai diubah. Transparansi di Indonesia kan sudah jadi hal mutlak, setelah ada UU Keterbukaan Informasi Publik. Apalagi semua informasi yang menyangkut warga negara dan pelayanan publik, itu kan harus dibuka semua aksesnya kepada publik.

Selama ini pemerintah tidak transparan soal warga negara yang terancam hukuman mati di luar negeri?

Jelas. Terhadap yang secara hukum punya hak saja tidak dipenuhi oleh pemerintah. Misalnya, keluarga Darsem. Dari 2006 hingga 2011 mereka tidak mengerti apa-apa kalau anaknya terancam hukuman mati. Informasi didapat dari teman Darsem. Tidak ada inisiatif pemerintah untuk memberikan informasi, baik melalui surat resmi atau apa.

Ketika dipublikasikan media massa, baru kemudian ada informasi dari pemerintah. Itu kan menjadi salah satu indikator, bahwa pemerintah tidak punya komitmen politik untuk terbuka. Ya mungkin takut kinerja buruknya diketahui masyarakat, mungkin menjaga itu. Itu kan fatal kalau menurut saya. Seperti Ruyati, ketika dipenjara hingga dieksekusi, tidak bisa berkomunikasi dengan keluarganya.

Jadi pola-pola seperti ini sudah harus diakhiri, untuk menghasilkan upaya pembelaan hukum, bantuan hukum yang bisa  dipertanggungjawabkan, yang fair. Salah satu kuncinya ya transparansi.

Apa tidak transparannya pemerintah memiliki dampak?

Tentunya ada. Seperti Yanti Irianti. Kami tak pernah tahu, tak pernah menemukan nama dia di list ancaman hukuman mati, tiba-tiba kami baca di Arab News, ada yang dieksekusi mati, dan itu orang Indonesia. Kami cek di data kami, namanya tidak ada. Tidak tahu kalau di KBRI, mungkin ada ya. Tidak ada salahnya kalau data itu accessible untuk semua pihak.

Dari sisi PJTKI juga kan bermasalah. Ruyati sendiri diminta memalsukan usianya. Bagaimana Anda melihat ini?

Itu gambaran umum bagaimana administrasi penempatan TKI sangat buruk. Sangat buruknya dari sisi pemalsuan dokumen, berangkat tak sesuai tahapan dan prosedur yang ada, tanpa training kan banyak sekali, kemudian berangkat ke negara yang sebenarnya bukan negara penempatan. Jadi saya melihat ini seperti mafia, mafia bisnis perdagangan orang yang terus dibiarkan liar tanpa ada penegakan hukum signifikan. Sementara pemerintah di satu sisi juga menikmati, karena mereka juga dapat devisa dan pemasukan dari situ.

Apa Migrant Care sudah mendesak aparat hukum untuk menindak PJTKI bermasalah?

Kami sudah melist kejahatan-kejahatan korporasi, yang dilakukan perusahaan PJTKI. Tapi tidak ada follow up. Kalau ke pemerintah hanya jadi laporan terbuka. Kami terpaksa bergerak sendiri dengan melapor ke Mabes Polri atau Polda. Kemudian mendampingi mereka untuk menggerebek sejumlah PJTKI bermasalah. Tapi itu tidak lebih dari 30 persen.

Selain ke polisi, apa ada upaya lain?

 Kami sudah lapor ke Ombudsman. Karena laporan-laporan ke pemerintah itu kan bagian dari upaya mendapat pelayanan publik. Kami meminta untuk menertibkan instansi dalam memberikan pelayanan. (eh)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya