- Dharma
VIVAnews - Pemerintah perlu mengantisipasi serangan krisis global dengan memperkuat ketahanan perekonomian nasional, salah satunya dengan menjaga rupiah tak merosot terlalu tajam.
"Bank Indonesia harus segera menggunakan cadangan devisa agar nilai tukar rupiah tetap terjaga," kata Mantan Kepala Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu saat dihubungi VIVAnews.com di Jakarta, Minggu 25 September 2011.
Dia mengatakan, langkah BI membeli kembali (buyback) Surat Hutang Negera (SUN) dan Surat Berharga Negara (SBN) adalah langkah tepat. Cadangan devisa BI cukup banyak dan mampu mendongrak nilai tukar rupiah.
Sayangnya, Anggito menilai, langkah BI menerapkan lebijakan devisa ekspor terlambat. "Harusnya BI menerapkan sejak dulu," ujarnya.
Dengan intervensi menggunakan cadangan devisa yang mencapai US$120 miliar, dia menilai nilai tukar rupiah tak akan melemah hingga Rp10.000 per dolar AS. "Cadangan devisa BI cukup baik," ungkapnya.
Pada Jumat lalu, BIĀ kembali menyerap lelang surat utang negara (SUN) untuk mengintervensi rupiah. Dari target yang masuk sebesar Rp1,4 triliun, BI menyerap Rp321 miliar.
Berdasarkan hasil lelang tersebut nilai tukat rupiah kembali menguat dan ditutup di level Rp8.780 per dolar AS. Namun, kondisi ini tak berlangsung lama. Hari ini, rupiah kembali melemah dan diperdagangkan pada Rp9.030 per dolar AS.
DalamĀ data transaksi Reuters, nilai tukar rupiah terlemah terjadi pada 1 Juli 1998. Saat itu nilai tukar melonjak hingga Rp16.800 per dolar AS dari rata-rata Rp2.000 - Rp2.500.
Setelah krisis 2008 selesai, rupiah berangsur di bawah Rp10.000. Namun, pada November 2008, krisis global yang melanda sebagaian negara-negara dunia, membuat rupiah terangkat menjadi Rp12.200, tepatnya pada 27 November.
Rupiah kembali menguat hingga pada 1 Agustus mencapai Rp8.455. Terkuat sejak 1 Agustus 2001, yang saat itu mencapai Rp8.200.