Chatib Basri: Ini Belum Krisis, Baru Resesi

Chatib Basri
Sumber :
  • facebook.com

VIVAnews –Harga saham sedang jumpalitan. Banyak yang turun tajam. Pekan lalu Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia mengalami tekanan hebat. Para investor dari negeri seberang cemas dengan krisis Eropa. Takut krisis itu menular ke berbagai negara, termasuk Indonesia.

Tim Pengawal Anies Pamitan usai Pilpres 2024 Berakhir

Selain melemahkan saham, rupiah juga ikut tertekan. Sempat menyentuh Rp9200. Jika situasi ekonomi global terus memburuk, sejumlah kalangan meramalkan rupiah bisa tersuruk ke bilangan Rp10 ribu. Seburuk itukah efek krisis yang berpusat nun jauh di Eropa itu?

Para pakar ekonomi memberi jawaban yang beragam. Tapi semuanya sepakat bahwa efek krisis itu tidak akan seburuk krisis tahun 1998. Fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat menahan badai dari Eropa itu.

Perasaan Shin Tae-yong Usai Timnas Indonesia U-23 Singkirkan Korea Selatan

Kondisi saat ini, kata M.Chatib Basri, Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional, belum masuk kategori krisis. Situasi baru masuk tahap resesi. Apa maksudnya? Berikut petikan wawancara VIVANews dengan Chatib Basri. Wawancara berlangsung Senin  26 September 2011, melalui sambungan telepon internasional.  Datang ke negeri itu, Chatib menghadiri pertemuan tahunan IMF-World Bank di Washington DC.

Bisa Anda jelaskan secara singkat anatomi krisis global saat ini?
Begini, kondisi saat ini beda dengan tahun 2008. Saat itu krisis dipicu oleh kasus sub prime mortgage yang akhirnya menghantam perekonomian Amerika Serikat. Pada saat yang bersamaan karena banyak negara-negara lain yang memegang instrumen tersebut maka krisis dengan cepat menyebar ke seluruh dunia.

Christian Bautista Bakal Tampil di Konser Westlife: The Hits Tour 2024

Saya belum berani menyebut kondisi saat ini sebagai krisis. Kemarin pada acara pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia, teman-teman menyebutnya sebagai kecenderungan resesi global.

Namun, jika pertumbuhan dunia jatuh di bawah 2 persen probabilitas kondisi resesi berubah menjadi krisis global menjadi makin besar. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Awalnya adalah dipicu oleh prospek pertumbuhan ekonomi Amerika yang suram seiring dengan stimulus yang terlalu rendah ke perekonomian negara tersebut. Mereka memberikan stimulus yang rendah karena untuk mengurangi defisit fiskal di anggarannya.

Hal tersebut mengakibatkan pertumbuhan ekonomi melambat sebab pada saat yang bersamaan bank sentral AS juga tidak melakukan Quantitative Easing  yang ketiga. [Quantitative Easing adalah kebijakan moneter oleh  bank sentral yang bertujuan memberikan injeksi likuiditas ke pasar dengan  cara membeli berbagai aset finansial di pasar uang.]

Di tengah situasi seperti, kondisi beberapa negara di Eropa, yaitu Portugal, Irlandia, Italia, Yunani dan Spanyol  memburuk. Negara tersebut memiliki rasio defisit anggaran negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di atas 120 persen. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya sekitar 20 persen.

Yang paling parah adalah Yunani. Nah jika sampai Yunani default [gagal bayar] maka yang akan paling terkena adalah bank-bank yang selama ini telah memberikan pinjaman dalam jumlah besar kepada negara tersebut. Bank-bank tersebut kebanyakan berasal dari Perancis, Jerman dan Swiss.

Akibatnya, risiko perbankan  meningkat.  Dan pada  akhirnya membuat bank-bank besar tidak bersedia memberikan pinjaman antar-bank karena saling tidak percaya.

Kondisi tersebut akhirnya membuat likuiditas di Eropa mengering, karena masing-masing bank dan negara menjaga dirinya masing-masing. Bank-bank yang tidak kuat kelimpungan.

Di tengah kondisi keringnya likuiditas di pasar finansial Eropa, bank sentral Amerika mengeluarkan kebijakan yang dinamakan Operation Twist. Operasi tersebut pada prinsipnya adalah bank sentral menjual obligasi jangka pendeknya dan membeli obligasi jangka panjang dari pasar.

Investor ternyata tertarik membeli obligasi jangka panjang tersebut.  Sebab, dalam situasi seperti ini mereka memilih untuk membeli instrumen yang berkualitas.

Inilah yang menjelaskan mengapa pekan lalu tiba-tiba  rupiah anjlok. Investor asing mencairkan portofolio mereka di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk membeli obligasi jangka panjang Amerika.
Tetapi tekanan terhadap rupiah tidak terlalu tinggi, yang paling parah adalah Korea Won.

Tekanan terhadap indeks di bursa saham dan rupiah akan terus berlanjut?
Ini semua akan tergantung pada kejelasan penyelesaian krisis di Eropa. Nah, masalahnya,  Eropa tidak gampang. Pertanyaannya adalah apakah mereka berani bail-out  Yunani dan perbankan? Dan jangan lupa masalah menjadi makin pelik karena politik masing-masing negara juga berbeda.

Selama Eropa belum jelas saya pikir investor akan cenderung mencari investasi yang berkualitas  seperti obligasi jangka panjang Amerika tersebut.
Yang harus kita jaga adalah jangan sampai pasar panik. Karena informasi tidak sempurna, pasar bisa panik dan akhirnya bisa terjadi penjualan besar-besaran.

Jika Amerika dan Eropa krisis, bagaimana ekspor Indonesia ke kawasan tersebut?
Pertama, jangan lupa ekspor primer kita adalah energi dan komoditas. Dan ekspor jenis itu terbesar adalah ke China, jadi kita masih bisa tertolong.  Kedua, porsi ekspor kita terhadap pertumbuhan masih kecil, hanya 25 persen. Sebagian besar pertumbuhan kita masih dimotori oleh permintaan domestik.

Seberapa besar pengaruh krisis ini terhadap pertumbuhan Indonesia?
Saya tidak terlalu khawatir dengan pertumbuhan. Kita pernah mengalami hal yang tahun 2008 dan ternyata kita survive. Bandingkan dengan Singapura saat itu yang terkena lebih dalam akibat ketergantungannya terhadap ekspor demikian besar.

Hal yang sama juga terjadi pekan lalu, mata uang Singapura tertekan hebat. Begitu juga Korea Selatan yang anjlok paling besar. Sama dengan Singapura, ketergantungan Korea Selatan terhadap ekspor sangat besar.

Yang saya khawatirkan adalah justru stabilitas di pasar finansial kita. Indonesia jelas bahwa sekarang tidak ada persoalan. Kita hanya terkena imbas dari apa yang terjadi di Amerika dan Eropa.

Masalahnya, ketidakstabilan pasar finansial global bisa dapat dengan cepat menular. Jika, katakanlah, perbankan mulai menjaga dirinya sendiri, maka dampaknya bisa serius.

Sebab, hingga saat ini kita belum memiliki Undang-undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang memberikan keleluasan bagi otoritas moneter untuk menginjeksi likuditas pada perbankan yang mengalami kesulitan.

Jika tidak ada payung hukum yang jelas, pemerintah atau Bank Indonesia bisa dipersoalkan parlemen jika ingin membantu sebuah bank yang sedang kesulitan, seperti kasus Bank Century. Artinya, otoritas tidak bisa berbuat apa-apa karena aturannya memang belum ada hingga saat ini.

Dalam kapasitas apa Anda hadir  di pertemuan tahunan Bank IMF dan Bank Dunia?
Saya hadir sebagai Independent Advisory Regional Board untuk Asia Pasifik. Saya diminta pandangan saya soal Asia berkaitan dengan situasi saat ini.

Apa saran Anda untuk Asia?
Pertama, yang paling penting negara-negara Asia harus memberikan stimulus kepada perekonomiannya. Karena Asia saat ini yang kuat. China misalnya bisa tetap tumbuh 9 persen, India juga kuat.

Pertumbuhan yang kuat di Asia membuat saya cukup optimis probabilitas global growth tidak turun di bawah 2 persen cukup besar. Sehingga kemungkinan untuk terjadinya krisis global bisa diperkecil.

Kedua,  Asia hanyalah dampak ikutan. Eropa harus menyelesaikan persoalannya,  jika tidak maka semua negara akan terkena dampaknya, termasuk Asia.

Ketiga, Asia harus bersiap-siap mengantisipasi jika krisis benar-benar terjadi. Misalnya,  negara-negara Asia bisa menggunakan fasilitas Deffered Drawdown Option yang diberikan Bank Dunia. Fasilitas tersebut memungkinkan negara penggunanya menjual obligasi berbunga rendah kepada Bank Dunia jika situasi krisis membuat bunga pinjaman di pasar internasional melonjak naik.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya