PPP Desak Setgab Koalisi Atasi Polemik PT

Lukman Hakim Saifudin
Sumber :
  • Antara/ Ismar Patrizki

VIVAnews – Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Partai Persatuan Pembangunan, Lukman Hakim Saefuddin, berharap Sekretariat Gabungan Partai Koalisi (Setgab) dapat mengatasi perbedaan pendapat di antara fraksi-fraksi koalisi soal angka parliamentary threshold atau ambang parlemen dalam revisi UU Pemilu yang saat ini sedang digodok di parlemen.

“Harap ada ikhtiar konkret Setgab untuk segera menyikapi masalah ini,” ujar Lukman di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu 3 November 2011. Menurutnya, apabila Setgab tidak bisa menengahi polemik soal ambang parlemen, maka bukan tak mungkin poros tengah antara partai-partai tengah di parlemen akan terbentuk.

“Poros tengah adalah konsekuensi apabila eksistensi Setgab koalisi tak bisa dipertahankan,” kata Lukman. Oleh karena itu, tegas Lukman, terbentuk atau tidaknya poros tengah tergantung pada “apakah partai-partai yang terhimpun dalam Setgab koalisi bisa bersepakat dan satu pandangan terkait isu-isu RUU Pemilu itu.”

“Karena kalau tidak ada kata sepakat dari Setgab, maka keberadaan Setgab koalisi menjadi tidak ada maknanya,” imbuh politisi PPP itu. Lebih lanjut, Lukman berpendapat, polemik seputar isu RUU Pemilu merupakan ujian bagi Setgab untuk menunjukkan peran dan fungsinya bagi partai-partai koalisi.

“Sampai sekarang Setgab koalisi kan terasa seperti antara ada dan tiada. Oleh karena itu, RUU Pemilu akan menjadi semacam pembuktian apakah Setgab masih perlu dipertahankan atau tidak,” kata Wakil Ketua MPR itu.

Sinergi 6 Parpol soal PT


Alotnya pembahasan soal ambang parlemen dalam revisi UU Pemilu, memang membuat partai-partai tengah di parlemen merapatkan barisan. PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura, bersinergi melawan dominasi 3 partai besar – Demokrat, Golkar, dan PDIP – yang menginginkan kenaikan angka ambang parlemen.

Keenam partai politik itu tak peduli apakah mereka mereka merupakan bagian dari koalisi pemerintah atau tidak. Hal yang terpenting, eksistensi mereka di parlemen dapat terjaga, dengan mencegah kenaikan ambang parlemen secara drastis.

Semakin tinggi angka ambang parlemen, maka kemungkinan partai-partai itu untuk lolos ke DPR memang semakin sulit, karena mereka harus mengumpulkan perolehan suara nasional yang lebih banyak daripada pemilu lalu. Pada Pemilu 2009 lalu, ambang parlemen dipatok pada angka 2,5 persen. Artinya, partai dengan perolehan suara nasional kurang dari 2,5 persen tidak mendapat kursi di DPR.

Kini, dalam pembahasan RUU pemilu, pemerintah mengajukan kenaikan ambang parlemen ke angka 4 persen, sama seperti sikap Demokrat sebagai partai utama pendukung pemerintah. Golkar bahkan mengusulkan angka ambang parlemen lebih tinggi lagi, yakni 5 persen. Hal ini sudah pasti memperoleh tentangan keras dari partai-partai tengah di parlemen.

“Tujuan merevisi UU Pemilu adalah untuk membangun sistem kepartaian yang demokratis, sehat, dan kuat, bukan untuk menghilangkan atau membunuh parpol kecil atas nama menciptakan pemerintahan presidensiil yang efektif dan efisien,” kritik Viva Yoga Mauladi, anggota Panitia Khusus RUU Pemilu dari Fraksi PAN.

Lebih lanjut ia berpendapat, kenaikan ambang parlemen adalah logika yang salah dari partai-partai besar. “Efektivitas pemerintahan presidensiil tidak ditentukan oleh jumlah partai, tapi oleh persamaan atau perbedaan ideologi politik partai, dan komposisi perolehan kursi partai di DPR,” kata Yoga kepada VIVAnews, Rabu 2 November 2011.

Paling penting, ujarnya, efektivitas pemerintahan ditentukan oleh kepemimpinan yang kuat di pemerintahan. “Bila tidak ada kepemimpinan yang kuat, maka meski jumlah partai di parlemen sedikit, tetap saja akan terjadi instabilitas politik,” terang Yoga.

Oleh karena itu, tegas Ketua Badan Pemenangan Pemilu PAN itu, 6 parpol di parlemen termasuk PAN, membulatkan tekad untuk bersinergi dan bersikap satu suara dalam pembahasan RUU Pemilu. “Jangan sampai ada tirani mayoritas atau diktator minoritas di DPR. Kekuatan civil society harus terlibat aktif dalam proses pengambilan kebijakan RUU Pemilu ini,” kata dia. (ren)

PKS Hormati Putusan MK: Selamat Bertugas Prabowo-Gibran
Beli Sepatu Bola Rp 10 Juta, Kena Pajak Rp 31 Juta

Viral Beli Sepatu Bola Rp10 Juta, Kena Pajak Rp31 Juta, Ini Kata Bea Cukai

Bea Cukai mengatakan bahwa pengenaan pajak Rp 31,8 juta tersebut merupakan sanksi ketidaksesuaian Cost, Insurance and Freight (CIF) atau total nilai harga barang ditambah

img_title
VIVA.co.id
23 April 2024