Frank La Rue, Pelapor Khusus PBB:

"Tidak Perlu Sensor Media Sosial di Internet"

Frank La Rue
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVAnews - Di tengah derasnya informasi dari Media Sosial di Internet, sudah bukan zamannya lagi pemerintah memberangus hak kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Tetap Gunakan Sirekap di Pilkada Serentak, KPU: Kami Punya Kewajiban untuk Terbuka

Revolusi yang terjadi di Mesir dan Tunisia, misalnya,  menunjukkan bahwa rezim diktator yang berupaya mengekang kebebasan rakyat justru mempercepat kejatuhan mereka.

"Kebebasan bereskpresi adalah bagian dari masyarakat yang demokratis. Makin demokratis, maka makin bebas berekspresi, makin baik pula pembangunan ekonomi," kata Frank La Rue yang bertugas sebagai Pelapor Khusus PBB bidang Penegakan dan Perlindungan Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi sejak Desember 2010.

Ketua Umum Projo Isyaratkan Mesti Ada Parpol di Luar Pemerintahan Prabowo-Gibran

Berikut petikan wawancara VIVAnews dengan La Rue di Jakarta, 10 November 2011. 

Di era media baru saat ini, pemerintahan di negara-negara demokratis menghadapi dilema, antara menjamin kebebasan berekspresi dengan menegakkan stabilitas dan perdamaian. Bagaimana agar elemen-elemen itu tidak saling bertentangan?

Saya tidak melihat elemen-elemen itu harus berkonflik. Kebebasan berekspresi tidak pernah mendatangkan gangguan stabilitas. Sebaliknya, kebebasan berekspresi adalah elemen yang diperlukan untuk menciptakan harmoni dan pemerintahan yang baik.

Saya perhatikan ada pandangan yang salah bahwa kebebasan berekspresi itu berlawanan dengan keamanan nasional, pemerintahan, atau ketentraman. Itu tidak benar.

Kebebasan bereskpresi adalah bagian dari masyarakat yang demokratis. Makin demokratis, maka makin bebas berekspresi, makin baik pula pembangunan ekonomi. 

Anda harus ingat bahwa kebebasan berekspresi yang diterapkan di Internet dan instrumen komunikasi lainnya telah membentuk partisipasi publik.

Ini Deretan Menteri Jokowi yang Hadir di KPU Saksikan Penetapan Prabowo Presiden

Masyarakat dalam nuansa demokrasi adalah agar pemerintah bertindak transparan dan menjamin kebebasan berekspresi. Kebebasan itu punya dua hal pokok, yaitu akses mendapatkan informasi dan hak untuk menyebarkan ide.

Kebebasan itu termasuk menyampaikan gagasan apapun, termasuk kritik kepada pemerintah dan kritik kepada kebijakan publik. Satu hal yang tidak ada dalam kebebasan berekspresi adalah tidak menjamin kelanggengan bagi suatu rezim.

Saya tahu banyak pemerintah memaparkan penjelasan seperti yang Anda utarakan tadi, namun saya tidak setuju sama sekali. Ada pemerintah yang berupaya membungkam kritik-kritik dari rakyatnya yang memanfaatkan kebebasan berekspresi dengan beralasan untuk mengutamakan stabilitas mencegah konflik.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi pada kasus-kasus tertentu bisa menjadi bumerang saat bersinggungan dengan isu-isu sensitif, seperti penghujatan atas agama atau budaya tertentu, sehingga menyulut kebencian antarkelompok. Masalah ini sudah terjadi di sejumlah negara yang demokratis, bahkan seperti yang terjadi di Eropa baru-baru ini. Bagaimana PBB menanggapi masalah tersebut?

Saya rasa, sekali lagi, pandangan ini bertolakbelakang. Saya lihat apa yang terjadi di Norwegia, sebagai contoh, adalah bentuk dari sikap tidak mau menerima perbedaan dan bangkitnya rasisme atau benci kepada orang asing (xenophobia).

Apa yang dilarang dalam kebebasan berekspresi adalah rasisme. Pasal 20 dari Kovenan Internasional atas Hak-hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa semua negara harus melarang aksi-aksi yang menyulut kebencian dan kekerasan serta segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, agama, dan kewarganegaraan kepada siapapun.

Ya, pendapat yang mengandung kebencian harus dilarang. Namun tidak berarti bahwa semua dialog yang mengkritisi keagamaan harus dilarang. Saya mengerti bahwa agama dan falsafah adalah hal yang selalu diagungkan dalam mazhab pemikiran, sehingga terbuka untuk dibicarakan dan diperdebatkan dan tidak perlu didakwa sebagai bentuk penghujatan.

Di Eropa ada sejumlah negara yang menerapkan undang-undang penghujatan, dan saya rasa itu adalah suatu kesalahan. Saya menghormati keyakinan dan kepercayaan namun penghormatan atas keyakinan dan kepercayaan itu tidak perlu sampai diatur dengan penyensoran.

Sebagai pelapor khusus PBB, Anda tampak sangat menentang penyensoran dalam bentuk apapun atas informasi di Internet
 
Saya percaya harus ada pembatasan, namun tidak mendukung penyensoran. Bagi saya, sensor itu adalah keputusan politik dari negara.

Namun, ada batas-batas dalam hak kebebasan berekspresi. Contohnya, pembatasan itu perlu untuk melindungi anak-anak agar tidak menjadi target pornografi. Namun, saya tidak mendukung penyensoran di Internet.

Jadi bagaimana seharusnya pemerintah atau pihak berwenang menegakkan hukum demi melindungi masyarakat dengan tidak melanggar hak kebebasan berekspresi di Internet?

Prinsipnya adalah biarkan masyarakat berbicara apa yang ingin mereka utarakan sehingga akan muncul pembatasan-pembatasan yang mereka kehendaki. Aturannya di sini adalah keterbukaan. Biarkan Internet menjadi forum bagi masyarakat untuk berbaur dan sarana berpendapat.

Tugas pemerintah atau pihak berwenang dalam konteks ini adalah menjamin kebebasan itu dan menampung suara-suara rakyatnya. Memang akan ada pembatasan, namun hanya sedikit sekali dan tidak sampai mengekang.

Bagi saya Internet jangan dianggap sebagai tantangan bagi pemerintah namun bisa menjadi saluran aspirasi. Pergolakan di Tunisia dan Mesir menjadi contoh ketika pemerintah berupaya mengekang kebebasan berekspresi dari rakyat yang akhirnya mustahil mereka bendung.

Revolusi di Mesir dan Tunisia itu pada intinya adalah rakyat masing-masing tidak suka lagi diperintah oleh pemimpin yang begitu lama berkuasa. Hosni Mubarak sudah 30 tahun jadi pemimpin dan Ben Ali sudah lebih dari 20 tahun berkuasa di Tunisia.

Bagaimana Anda melihat pengaruh media sosial dalam menjamin hak kebebasan berekspresi?

Menurut saya media sosial tidak hanya menjadi instrumen bagi kebebasan berekspresi namun juga berguna bagi pembangunan. Bila kita melihat negara-negara mana yang lebih maju secara ekonomi? Tentunya adalah negara yang menjamin kebebasan dan penghormatan atas HAM yang menjamin komunikasi yang lebih baik.

Komunikasi itu penting bagi pembangunan. Contohnya, penduduk suatu desa atau komunitas nelayan ingin mengetahui kondisi cuaca dan perkembangan harga di pasar, mereka pun perlu sarana komunikasi yang memadai. Tanpa komunikasi elektronik yang memadai, sulit untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Bagi saya Internet kini tidak boleh dipandang sebagai mainan kaum elit, namun sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat dari berbagai golongan. Seperti juga telepon, teknologi yang kini sudah menjadi kebutuhan masyarakat.

Di tengah derasnya arus informasi dari masyarakat melalui media sosial di Internet, sering pula ditemukan informasi yang tidak benar dan bisa menyesatkan publik. Apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut?

Saya balik bertanya, apakah Anda setuju pemerintah mengendalikan media massa? Apa yang bisa mencegah media massa untuk tidak lagi menyebarkan berita bohong?

Jawabannya adalah etika yang perlu diterapkan media yang bersangkutan dan juga masyarakat sendiri. Merekalah yang akhirnya menentukan media mana yang telah memberitakan kabar dusta.

Jadi percayalah kepada penilaian masyarakat. Pemerintah di manapun tidak bisa mengklaim mereka adalah pemilik kebenaran atau pemerintahlah yang satu-satunya benar.

Dalam suatu dialog, mungkin ada satu dua pihak yang mengutarakan kabar bohong. Namun akan ada pihak lain yang menyadari bahwa itu adalah bohong dan akan mengutarakan argumentasinya. Itulah inti komunikasi yang sebenarnya.

Jadi sebenarnya tidak perlu membatasi media sosial  untuk mengurangi informasi yang menyesatkan kepada publik?

Pembatasan itu ada pada individu masing-masing, bukan pada media sosial. Individu-individu akan menilai mana yang benar dan bohong.

Pembatasan itu sudah tertuang dalam Deklarasi HAM pasal 20 yang menyatakan bahwa tidak dibenarkan adanya upaya untuk menebar kebencian dan membuat kekerasan.

Lalu pada pasal 19 menyatakan bahwa kebebasan berekspresi dapat dibatasi untuk keamanan nasional, ketertiban umum, dan keselamatan serta kesehatan masyarakat. Kondisi itu sudah ada di sana.

Namun, kita juga punya konvensi lain, yaitu yang mengatur pencegahan genosida yang menyatakan tidak boleh ada kegiatan yang mendukung genosida. Ada protokol tambahan pada Konvensi Perlindungan Anak yang menyatakan semua bentuk pornografi anak harus dilarang.

Begitu pula kegiatan yang mengandung kriminal harus diselidiki dan ditindak oleh pihak berwenang. Kegiatan yang mengagungkan superioritas suatu ras dan merendahkan ras lain serta terorisme juga patut dilarang.

Jadi Deklarasi HAM dan perjanjian lain dari PBB telah memaparkan pembatasan agar hak kebebasan berekspresi tidak disalahgunakan untuk kegiatan kriminal seperti yang disebutkan di atas. Namun itu bukan berarti membolehkan adanya sensor di Internet atau media sosial.

Perlukah ada suatu inisiatif global berupa panduan bagi para pemerintah di penjuru dunia untuk menjamin hak kebebasan berekspresi di Internet sekaligus mencegah kejahatan dan pornografi di dunia maya?

Saya pikir demikian, namun saya rasa prinsip kebebasan berekspresi yang telah diberlakukan di media cetak, radio dan televisi, juga bisa diterapkan di Internet. Tidak ada bedanya kok Internet dengan media lain, cuma mungkin penyampaian datanya lebih cepat.

Memang kini muncul pertimbangan keamanan sebagai alasan untuk memantau informasi di Internet, namun ini menjadi perdebatan legal.

Apakah komunikasi lewat telepon juga dipantau? Di banyak negara, menyadap percakapan telepon adalah ilegal kecual sudah perintah dari pengadilan. Bagi saya, prinsip itu juga berlaku pada Internet.

Arus informasi di Internet jangan diawasi kecuali ada perintah pengadilan terkait dengan penyelidikan suatu kasus kriminal.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya