Purwa Tjaraka

"Sejak Kecil Saya Sudah Les Piano"

Purwacaraka di Studio Musik Miliknya
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVAnews - Tukang insinyur sukses sebagai musisi.  Begitu jalan hidup Purwa Tjaraka. Ia lulus dari Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB), ketika ekonomi Indonesia sedang mekar dan para insinyur laris manis di dunia kerja. Purwa Tjaraka justru menyerahkan hidup pada musik.

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Periksa Pegawai Kementerian ESDM

Dan itu bukan lagi karena bakat semata. Ia sudah kadung jatuh cinta. Lelaki berdarah Jawa yang lahir di Beograd, Yugoslavia, 30 Maret 1960 ini, sudah menekuni musik jauh sebelum ia berkenalan dengan rumus-rumus njelimet ilmu teknik.

Datang dari keluarga militer –ayahnya Soejono Atmotenojo adalah seorang tentara- Purwa Tjaraka memang besar di rumah musik. Sang ayah suka musik. Pada masa kanak-kanak, Soejono kerap memutar lagu Pat Bone, Glen Muller dan Perry Como, para musisi yang menjulang namanya tahun 1960-an. “Rumah musik” itu tidak hanya membenam Purwa, tapi juga sang adik Trie Utami, yang di belakang hari sukses sebagai penyanyi dan guru.

Aktor Park Sung Hoon Minta Maaf ke Penonton Atas Karakter Jahatnya di Queen Of Tears

Pada usia 10 tahun Purwa Tjaraka sudah berkenalan dengan piano. Bahkan sudah belajar main piano pada seorang guru berkebangsaan Hongaria di Bandung. Meski cinta dan bakat pada musik sudah terasah semenjak belia, sang ayah tetap mengiringnya ke bangku sekolah.

Jadilah musik dan sekolah itu, seperti dua sisi mata uang dalam kehidupan Purwa Tjaraka. Sekolah di satu sisi. Musik di sisi yang lain. Ia menang lomba musik ketika duduk SMA 3 Bandung. Sebuah perusahaan musik yang terpukau lalu mengontraknya. Kontrak itulah yang menerbangkan Purwa Tjaraka tampil di Malaysia dan Singapura.

So Sweet! Perjuangan Brandon Salim Berangkat ke Jepang Demi Lamar Kekasih

Meski super sibuk dan melalang buana ke mana-mana, ia lulus tes masuk ITB.  Bakat dan cinta musik itu juga masuk kampus. Pergi pulang tampil di sejumlah acara, tapi lulus sebagai insinyur dengan indeks prestasi di atas 3.

Kini ia bukan saja dikenal sebagai musisi kawakan, tapi juga seorang maha guru. Sekolah musik Purwacaraka –yang dieja berbeda dengan namanya --bertabur di sejumlah kota. Sudah 82 cabang. Hari-hari ini Purwa Tjaraka sibuk membagi rumus musik ke 18 ribu muridnya di berbagai kota.

Menelusuri perjalanan karir musisi kondang ini, VIVANews.com  mewawancarainya Rabu 16 November 2011 di sekolah musik Purwacaraka Tangerang. Di tengah wawancara ini ia bermain piano.(Lihat foto-foto main piano itu di sini). Berikut petikan wawancaranya.

Mengapa saat ini mulai jarang tampil di layar kaca?
Itu persoalan takdir. Ada masanya kita digantikan oleh yang lebih muda atau yang lebih baru. Memang perilaku dunia ini demikian. Saya realistis saja. Dalam waktu yang cukup lama dan kalau boleh jujur saya jadi pioner di beberapa acara. Seperti musik live di Indosiar setiap minggu, di gebyar BCA, main selama 11 tahun 3 bulan. Lalu, revolusi dangdut pop dengan KDI juga.

Lalu, apa kesibukan saat ini? Apakah masih turun mengajar?
Sekarang sudah memimpin sekolah saja. Mengurus kantor pusat di sini dan 82 cabang. Masih juga diundang menghadiri acara-acara musik lalu mengisi scoring untuk sinetron.

Saya bisa dibilang tipe morning person and late sleep person. Tidur cuma empat jam, enggak pernah lebih. Kerja pagi, nulis score, creating recording digital di komputer misalnya keyboard. Semua bisa dilakukan di rumah karena ada studio. Sisanya, kalau siang ya office hours, bisa meeting produksi atau mengurus manajemen.

Bagaimana tantangan mendirikan sekolah musik?
Penuh tantangan pada 7 tahun pertama. Mulainya di Bandung tahun 1988, di jalan Mangga II, nomor 11. Saat itu sedang membina karier sebagai performer dan tidak terbiasa dengan pekerjaan orang-orang lapangan. Tantangannya lebih pada menghadapi manusia.

Lalu, apa yang mendasari Anda terus mengembangkan sekolah musik?
Karena passion, jadi susah dijelaskan, saya enggak punya misi yang neko-neko. Tapi kalau visi, musik itu sesuatu yang besar. Dulu hanya dipandang sebagai seni dan bukan sebagai bisnis, saat pertama dibuka, 'pemain' di tingkat nasional juga tidak begitu banyak.

Ada berapa siswa saat ini?
Perhitungan 30 Desember 2010, rata-rata siswa aktif di seluruh cabang ada 18.100 siswa. Sebanyak 70 persen siswa, usia sekolah di bawah 18 tahun. Primadonanya, kelas vokal, lalu kedua, piano klasik. Saat ini kita memiliki 1700 di 82 cabang di seluruh Indonesia. Untuk audisi guru, saya masih terjun langsung, karena saya masih belum berani memberikan kewenangan pada orang lain. Ada banyak pertimbangan baik psikologis maupun bisnis.

Apakah sudah menyiapkan regenerasi untuk sekolah musik?
Harus dipersiapkan walaupun enggak mudah, karena second generation harus melanjutkan dan personal branding itu pasti hilang. Anak saya dilibatkan semua. Anak pertama saat ini memegang Department of Performing Art, namanya Aditya Purwa Putra. Lalu, yang kedua, menjadi penguji namanya Andrea Miranda Dwisanti Putri. Ketiga, Amanda Chitarra Utami Putri, memegang divisi merchandise, karena latar belakang pendidikannya desain arsitektur.

Sebagai orangtua, Kang Purwa tampaknya berhasil menularkan kecintaan pada musik pada anak-anak. Lalu, bagaimana sikap orangtua dulu, saat Anda memutuskan berkarier di bidang musik padahal berlatar pendidikan teknik?
Orang tua itu, aneh-aneh mendukung. Tapi mereka mendukung saya bermain piano, karena saya dibelikan piano dan lalu les. Meskipun sepertinya, dalam hati kecilnya agak tidak rela kalau anaknya menjadi musisi. Makanya itu karena Ibu kurang setuju saya jadi musisi, saya masuk ITB. Namun, begitu saya lulus dari ITB, orangtua tidak menghalang-halangi saya untuk bermusik dan berkarier.

Apakah ilmu saat yang didapat di bangku kuliah bisa diaplikasikan dalam karier bermusik?
Saat kuliah, saya sebenarnya masih dikontrak oleh perusahaan produsen alat musik. Ini mengharuskan saya, melakukan banyak perjalanan ke luar kota. Sehingga, saya memilih jurusan yang jadwalnya bisa saya atur. Akhirnya saya pilih jurusan teknik industri.
Bagusnya, teknik Industri lebih mendalami manajerial, menghitung, mengontrol, statistik. Sehingga, saya banyak belajar sistem manajemen dan ini membuat saya menjadi seorang seniman yang berpikir teknis seperti mahasiswa. Hubungannya justru bukan bertolak belakang, namun saling mendukung.

Pendapat Kang Purwa terkait perkembangan teknologi digital dalam industri musik sehingga pembajakan jadi lebih mudah?
Intinya, siap atau tidak, dengan perubahan dunia. Apakah sebuah keburukan, saya pikir itu pengaruh globalisasi. Menurut saya, teknologi memang memungkinkan kejahatan terjadi. Nah, penegakan hukum itu harus di-upgrade juga. Bangsa ini punya gengsi yang tinggi tapi tidak punya malu yang cukup.

Bagaimana tanggapan soal ring back tone (RBT), yang saat ini dianggap sebagai sumber penghasilan tertinggi artis?
Siapa bilang? Proporsi dia dapat dari RBT itu kecil lho. Sebagai ilustrasi, dapat 5 juta tapi dari pendapatan 500juta. Seharusnya dibikin adil dong. Hal yang penting, penegakan hukumnya. Supaya seluruh sistem sehat, termasuk RBT dan dipenuhinya hak-hak musisi, termasuk performing right harusnya bisa dijalankan

Terkait banyaknya gelaran konser artis luar negeri di Indonesia, sebagai musisi apa pandangan Anda?
Dulu kita mengeluh karena artis-artis luar, tidak mau main disini karena menganggap negara kita, negara pembajak. Sekarang banyak yang datang juga ada mengeluh. Masalahnya sebagai musisi, kita siap apa tidak dengan globalisasi ini. Kita tak bisa membatasi itu. Lihat saja konser Kahitna beberapa waktu lalu, tiket laris dan penuh penonton. Jadi, apa yang harus dikhawatirkan. Jangan banyak jealous, tapi ambil sisi positifnya.

Merasa sudah bahagia dengan keadaan sekarang?
Saya punya cita-cita pensiun umur 45 karena saya ingin buat sesuatu yang berbeda lagi. Biasanya orang pensiun di usia 55. Tapi saya punya pertanyaan sendiri, bisa enggak ya saya menikmati hasil kerja saya, intinya itu.

Walaupun saya punya banyak duit, tapi saya enggak punya tenaga lagi melakukan banyak hal, buat apa. Sebenarnya tugas saya sebagai orangtua sudah selesai karena anak-anak sudah  lulus. Tapi soal bahagia berkaitan dengan achievement. Apakah kerja terus untuk mengejar achievement tersebut atau mengurangi porsi dan membaginya dengan kenikmatan lain. Itu yang menjadi kebahagiaan kehidupan ini. Saya cenderung membaginya karena kesempatan enggak datang dua kali.

Pencapaian lain, apakah termasuk dalam dunia politik? Mengingat pernah ada kabar Kang Purwa ingin mencalonkan diri jadi wakil walikota Bandung.
Tiga tahun lalu hampir jadi walikota Bandung. Ibaratnya, saya sudah mencebur kaki separuh. Namun, pikir-pikir lagi hati saya tidak bisa. Pada perjalanannya saya menemukan beberapa hal yang tidak sesuai, akhirnya  biarkan saja. Padahal, saat itu keluarga sudah mendukung.

Boleh cerita sedikit soal keluarga, terutama pertemuan dengan istri, Santi Goenawan?
Dulu kita punya perkumpulan di Bandung Society Concordia, kita sama-sama anggota. Ada paduan suara ibu-ibu, jadi saya disuruh main piano, dan dia jemput ibunya. Ketemu di situ, kawin di situ, sunatan anak pertama juga di situ. Kita menikah di usia 22 setelah pacaran 2 tahun, enggak menyangka kok bisa sampai 30 tahun.

Hobinya Kang Purwa?
Saya suka belanja, belanja baju, barang-barang rumah biasanya juga suka. Saya suka makan. Baca buku tapi gak punya cukup waktu membacanya tapi saya senang membeli buku. Makanya, di rumah banyak buku yang masih terbungkus rapi.

Dengan kesibukan mengurus sekolah musik, membuat scoring, dan jadi pembicara, lalu bagaimana menjaga kesehatan?
Saya bukan tipe orang yang suka olahraga lho. Soal kesehatan, saya bukan perokok tapi kadang-kadang merokok, minum juga enggak. Lelaki ideal itu tidak merokok, tidak minum, tidak main perempuan, tidak berbohong dan tidak pernah ada, hahahahaha.

Ada tempat yang sangat ingin dikunjungi atau dikangeni?
Susah ngomongnya ya. Tapi saya punya tempat-tempat di dunia yang pernah dan selalu ingin dikunjungi, seperti Amerika, Alaska, Turki, Boston, Rumania, Eropa timur. Kalau keinginan, Afrika dan Amerika latin saya belum pernah. Saya ingin ke Tibet karena unik dan mau mencoba sesuatu yang berbeda.

Kapan akan pensiun?
Mungkin 4 tahunan lagi, yah.

Ingin menikmati hari tua di mana?
Dari seluruh tempat yang ada di wilayah Indonesia, yang punya getar art, itu Bali. Ada sesuatu yang berbeda kalau saya disitu. Komunitasnya menyenangkan, saya merasa nyaman.

------------------------------

Wawancara ini merupakan Kerjasama VIVAnews dengan Ikatan Alumni Teknik Industri ITB.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya