Meninjau Aspek Interferensi Kasus Indosat-IM2

Mantan Direktur Utama Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto
Sumber :
  • ANTARA/Rosa Panggabean
VIVAnews -
Tim Pengawal Anies Pamitan usai Pilpres 2024 Berakhir
Ada perang bintang pada kasus INDOSAT-IM2. Jaksa Agung yang menuding ada tindak pidana korupsi pada kerja sama INDOSAT-IM2 berhadap-hadapan dengan Menkominfo dan Staf Khusus Wakil Presiden yang juga bekas Menkominfo, Sofyan Djalil, yang menyatakan kerja sama tersebut tidak bermasalah.

Perasaan Shin Tae-yong Usai Timnas Indonesia U-23 Singkirkan Korea Selatan

Proses hukum yang sedang berjalan tetap harus dihormati, namun adagium luhur yang mengatakan "lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang tidak bersalah" haruslah tetap dijunjung setiap aparat penegak hukum.
Christian Bautista Bakal Tampil di Konser Westlife: The Hits Tour 2024


Kepercayaan diri Kejagung untuk meneruskan kasus ini sampai ke tingkat penuntutan, walaupun dipertanyakan dan ditentang oleh organisasi penggiat telekomunikasi, menimbulkan rasa penasaran apakah benar kerja sama tersebut merupakan pelanggaran hukum atau tidak.

Kasus dibangun dengan tuduhan adanya pelanggaran pada kerja sama antara Indosat sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi (Jartel) dengan anak usahanya Indosat Mega Media (IM2) yang merupakan penyelenggara jasa telekomunikasi (Jastel).

Pada kerja sama ini, IM2 menyediakan kepada masyarakat layanan akses Internet, yang merupakan sub jasa telekomunikasi, menggunakan jaringan nirkabel berkecepatan tinggi yang populer disebut dengan nama 3G (third generation) . Jaringan 3G tersebut beroperasi pada pita frekuensi 2,1 GHz yang dialokasikan oleh pemerintah selebar 10 MHz kepada Indosat melalui proses tender.

Menurut penyidik Kejagung, seperti diberitakan selama ini, IM2 tidak menggunakan jaringan milik Indosat, tetapi menggunakan frekuensi milik induk perusahaannya itu, kemudian mengembangkan jaringan sendiri untuk layanan Internet berbasis 3G pada masyarakat, atau kasarnya mengambil untung secara komersial.


Jika pernyataan itu benar, maka artinya frekuensi 2,1 GHz yang dialokasikan kepada Indosat digunakan secara bersama
(sharing)
antara Indosat dan IM2 dengan menggunakan jaringannya masing-masing, sebab layanan selain Internet-IM2 seperti layanan suara, tetap dapat digunakan oleh pelanggan 3G Indosat.


Penggunaan bersama frekuensi pada hakekatnya, tanpa penetapan Pemerintah, jelas-jelas dilarang oleh regulasi (Pasal 14, PP 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit).


Tetapi penggunaan jaringan, baik yang mengandung unsur frekuensi radio atau tidak, milik Penyelenggara Jartel oleh Penyelenggara Jastel, malah didorong oleh ketentuan yang ada (Ayat (2), Pasal 9, UU 36/1999 tentang Telekomunikasi dan Pasal 13, PP 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi).


Kerja sama penggunaan jaringan memiliki tujuan yang baik, yaitu efisiensi nasional dan demokratisasi ekonomi berupa kesempatan usaha di bidang layanan telekomunikasi, yang lebih luas kepada badan usaha kecil dan menengah, tanpa harus menginvestasikan dana besar dalam membangun jaringan telekomunikasi.


Sehingga pertanyaanya, apakah IM2 hanya menggunakan frekuensi 2,1 GHz (3G) milik Indosat, atau IM2 menggunakan kapasitas jaringan 3G Indosat secara kesatuan termasuk frekuensi 2,1 GHz di dalamnya?


Bukti yang kuat untuk membedakan kedua praktik kerja sama di atas sangat diperlukan agar majelis hakim di pengadilan tidak sekadar tertendang "bola panas" yang harus berjibaku membuktikan kasus teknologi ini.


Khawatirnya, jika tidak dapat menjatuhkan vonis bersalah karena tidak memiliki bukti yang kuat, pengadilan akan dituding tidak mampu menyelesaikan kasus yang dapat menyelamatkan uang negara bernilai 1,3 triliun rupiah.


Interferensi

Penggunaan frekuensi radio bersama
(sharing)
oleh lebih dari satu pihak adalah suatu pekerjaaan teknis operasional yang tidak sederhana, karena adanya potensi besar terjadinya interferensi atau gangguan.


Interferensi adalah momok sangat mengkhawatirkan bagi penyelenggara telekomunikasi, karena dapat menyebabkan jaringan yang dibangun dengan biaya miliaran atau triliunan rupiah menjadi sia-sia, tidak dapat dimanfaatkan.


ITU (International Telecommunication Union), lembaga khusus PBB, pun sangat serius mengatur penggunaan frekuensi ini dengan melakukan banyak studi dan pertemuan yang hasilnya antara lain dituangkan dalam babon "Radio Regulation," bertujuan agar penggunaan frekuensi radio optimal karena tidak terjadi interferensi yang mengganggu.


Oleh sebab itu, bila kerja sama Indosat-IM2 berupa penggunaan bersama frekuensi rasanya mustahil, jika tidak terdapat kesepakatan teknis tertulis tentang metode pengoperasiannya.


Kesepakatan itu diperlukan agar unit kerja masing-masing pihak dapat menyiapkan perangkat radio yang sinyalnya tidak akan saling berinterferensi. Kejagung dengan otoritas yang dimiliki harus dapat memperoleh bukti administrasi dalam perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang menjelaskan adanya kesepakatan teknis tersebut.


Bukti teknis

Dengan mengabaikan dampak ekonomi, yaitu hilangnya kesempatan untuk mendapatkan hasil yang optimal dari spektrum frekuensi yang dikelola, kesepakatan teknis disebutkan di atas dapat dilakukan berupa pembagian wilayah operasional.


Misalnya, IM2 hanya dapat menggunakan pita frekuensi 2,1 GHz di wilayah Jawa dan Sumatera sementara Indosat di wilayah lainnya. Atau, tanpa pembagian geografi namun
frequency sharing
dilakukan dengan menggunakan teknologi multiple access yang secara umum didasarkan pada:

1. pembagian waktu penggunaan (Time Division Multiple Access/TDMA),

2. pembagian kanal frekuensi, unit kecil dari suatu pita frekuensi, yang digunakan masing-masing pihak (Frequency Division Multiple Access/FDMA),

3. pengkodean unik yang disisipkan dalam sinyal yang dikirim dan diprogram dalam jaringan tiap pihak (Code Division Multiple Access/CDMA).


Agar tuduhan tidak terbantahkan, Kejagung perlu bukti dari audit forensik teknis atas perangkat jaringan yang digunakan oleh Indosat maupun IM2. Dimulai dengan identifikasi perangkat pemancar dan penerima seperti BTS (Base Transceiver Station) Indosat dan IM2, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan metode penggunaan frekuensi secara bersama yang digunakan.


Misal, jika digunakan metode CDMA perlu ditunjukkan sampai dengan algoritma pengkodean
(coding-decoding)
mana yang digunakan oleh IM2 dan mana yang digunakan oleh Indosat.


Tanpa bukti-bukti di atas, rasanya sulit menetapkan bahwa kerja sama ini adalah merupakan penggunaan frekuensi bersama. Karena, jika yang dilakukan hanya uji penggunaan dan pemeriksaan dari sisi terminal pemakai maka bukti tersebut akan sumir dan sangat lemah, informasi yang dihasilkan tidak akan membedakannya dengan kerja sama penggunaan jaringan telekomunikasi yang memiliki unsur frekuensi radio, yang sah secara hukum di Indonesia.


Dampak

Akhir dari kasus ini sangat dinantikan oleh penyelenggara telekomunikasi, terutama penyelenggara Jastel, termasuk 200 lebih ISP (Internet Service Provider), Content Provider, ITKP (Internet Teleponi untuk Keperluan Publik), dan sebagainya.


Karena, kalau kerja sama Indosat-IM2 ini yang merupakan kerja sama penggunaan jaringan, namun kemudian dinyatakan sebagai pelanggaran regulasi, maka bentuk kerja sama yang mereka lakukan dengan Penyelenggara Jartel lain juga secara yusrisprudensi dinyatakan sebagai tindak pidana


Pasalnya, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada jaringan milik penyelenggara Jartel yang tidak memiliki unsur frekuensi radio, paling tidak berupa gelombang mikro maupun satelit.


Begitu juga penyelenggara siaran TV ketika menggunakan SNG (Satellite News Gathering), dan menggunakan kapasitas satelit dari Penyelenggara Jartel akan dinyatakan merupakan praktik kerjasama yang melanggar hukum.


August B. Hulu

Pengamat sekaligus Anggota Masyarakat Telematika Indonesia
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya