Ade Armando Beberkan Lembaga Survei Bermasalah

Paparan hasil survei sebuah lembaga survei.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
VIVAnews
Polisi Sebut Wanita yang Ditemukan Tewas di Dermaga Pulau Pari Kerja Open BO
- Dosen Universitas Indonesia (UI) Ade Armando menyatakan lembaga survei bisa salah tetapi mereka tidak boleh berbohong dalam hal hasil penelitiannya. Menurut Ade, lembaga survei tetap penting untuk demokrasi namun tidak semua kredibel.

Dua Anak-anak Sempat Terjebak di Dalam Toko Bingkai yang Kebakaran

"Banyak lembaga survei memakai metode sembarangan, atau hasil penelitian mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan," kata Ade dalam diskusi di Media Center KPU, Jakarta, Selasa 4 Maret 2014.
Kondisi Mengenaskan 5 Korban Kebakaran Toko Frame Mampang Jakarta Selatan


Ade menjelaskan, lembaga survei bermasalah biasanya melakukan beberapa hal, pertama , sengaja merekayasa hasil penelitian. Misalnya, tidak menggunakan metodologi random sampling tetapi temuan kemudian digeneralisasikan.

"Survei di tiga atau empat kota, hasilnya nasional. Kalau dengan telepon hasil juga tidak bisa dipakai mewakili masyarakat secara nasional," ujar Ade.


Menurutnya,
random
artinya betul-betul diambil secara acak dengan metode yang ketat. "Kalau tidak dipatuhi maka hasilnya tidak bisa digeneralisasi," imbuhnya.


Dia melanjutkan, kebiasaan
kedua
, tidak melakukan wawancara atau penelitinya tidak pernah turun ke lapangan sehingga hasilnya bohong.
Ketiga
, kuesioner atau pertanyaan memang sengaja dibuat buruk.


"Kenapa ini terjadi? Salah satu karakter lembaga penelitian mengalami perubahan yaitu dari lembaga penelitian menjadi konsultan politik. Akibatnya, sangat mungkin terjadi bias-bias politik. Karena dia mewakili salah satu kandidat, ada kebutuhan untuk membuat si kandidat itu menang atau citranya baik," bebernya.


Berikut lembaga-lembaga bermasalah versi Ade Armando:


1. Indonesian Network Elections Suvey (INES)


Melansir survei yang hasilnya sangat mengejutkan dan tidak masuk akal. Pertama, menyatakan ektabilitas capres tertinggi adalah Prabowo Subianto dengan angka yang luar biasa mencapai 40,8 persen.

Sedangkan, Jokowi, yang dikenal sebagai kandidat yang kuat, hanya 5,6 persen.


2. Fokus Survei Indonesia (FSI)


Pada Januari yang lalu, melansir hasil survei yang menyebut elektabilitas Prabowo Subianto meroket sampai 33 persen, sedangkan Jokowi hanya  5,2 persen.


3. Survei Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (Sigma)


Menjadikan 112 wartawan sebagai responden dalam suatu survei elektabilitas capres dan cawapres. Namun tidak dijelaskan, para wartawan itu siapa, dari media apa saja, dan mewakili siapa. Kemudian, cara menarik informasi juga tidak dijelaskan dengan gamblang.


4. Lingkaran Survei Indonesia (LSI)


Dalam sebuah survei tahun 2013 lalu, LSI menyatakan Aburizal Bakrie memiliki elektabilitas di peringkat pertama, namun jika dipasangkan dengan Jokowi. Padahal, jika Jokowi disandingkan dengan tokoh lain seperti Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, Hatta Rajasa tetap menjadi yang tertinggi.



5. Lembaga Survei Jakarta (LSJ)


Pertanyaan mengarahkan. Saat mengumumkan PKS sebagai partai yang paling tidak dipercaya oleh publik. Sebab, pertanyaan yang diajukan adalah setelah Luthfi Hasan Ishaq tertangkap KPK, sehingga masyarakat otomatis menilai buruk partai tersebut.


6. Indonesia Research Center (IRC)


Temuan mereka yang menyebut Wiranto-Hary Tanoesoedibjo naik ke empat besar, kemudian sampai pada dua dinilai tidak valid. Terlebih, temuan tersebut berdasarkan hasil survei yang belum selesai 100 persen. Saat pengumuman, IRC baru mengumpulkan 80 persen data.


7. Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS)


SSS menggelar survei melalui jaringan telepon. Padahal, pemilik telepon (rumah) di Indonesia tidak lebih dari 10 persen. Metode itu dinilai tidak memenuhi syarat random sampling dan tidak bisa mewakili seluruh masyarakat Indonesia. (adi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya