Harga Minyak Mentah Naik, Saham Asia Dibuka Menguat

Seorang pria berjalan melewati papan layar yang menampilkan grafik pergerakan indeks dan harga saham di Tokyo, Jepang.
Sumber :
  • Reuters
VIVAnews
Bursa Asia Pasifik Tertekan Dinamika Pilpres AS
- Pasar saham utama Asia dibuka menguat pada transaksi awal Senin 19 Januari 2015, mengikuti sentimen positif menguatnya indeks saham utama Amerika Serikat pada penutupan perdagangan Jumat akhir pekan lalu waktu New York.

Mengekor Wallstreet, Bursa Asia Dibuka Melemah

Dilansir
Saham di Bursa-bursa Asia Rabu ini Dibuka Melemah
CNBC , indeks S&P ASX 200 di bursa Sydney menguat 1 persen menghentikan penurunan beruntun dalam lima hari perdagangan. Saham Macquarie menjadi saham dengan kenaikan terbesar, yakni lebih dari 5 persen.


Pasar saham Jepang diperkirakan menguat setelah sebelumnya ditutup naik 1 persen. Osaka berjangka diperdagangkan naik ke level 17.030. Sedangkan Chicago berjangka diperdagangkan di level 17.125, atau di atas penutupan indeks acuan Jepang, Nikkei pada akhir pekan lalu di level 16.864.


Saham-saham di bursa Amerika Serikat (AS) naik pada penutupan perdagangan hari Jumat atau Sabtu malam, 16 Januari 2015 waktu Indonesia.


Ketiga indeks utama bursa Wall Street menguat lebih dari 1 persen karena naiknya harga minyak mentah dan investor sedang mencerna beberapa laporan ekonomi.


Beberapa data ekonomi tersebut, di antaranya produksi pabrik pada Desember 2014 menguat 0,3 persen, atau naik 1,3 persen dibandingkan November 2014.


Laporan dari University of Michigan menyebutkan sentimen konsumen menguat ke level tertinggi dalam satu dekade, sehingga memicu harga minyak mentah langsung naik 5,3 persen.


Selain itu, harga konsumen penerbangan dilaporkan mengalami penurunan terbesar dalam enam bulan terakhir.


Investor Asia lebih memfokuskan perhatiannya pada rilis data ekonomi Tiongkok yang dirilis akhir pekan lalu, yakni harga rumah di Tiongkok pada Desember turun 4,3 persen, tetapi volume penjualan mencapai level yang tertinggi dalam satu tahun.


Beberapa analis menyebut hal itu karena pemerintah Beijing mendukung pembelian rumah masyarakatnya dengan suku bunga.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya