Perjuangan Sineas Muda Indonesia Demi Festival Film Berlin

Perjuangan Sineas Muda Indonesia demi Festival Film Berlin
Sumber :
  • Miranti Hirschmann/Berlin

VIVA.co.id - Menghadiri perhelatan Berlinale, festival film di Berlin, Jerman, adalah salah satu prestise bagi insan film di banyak negara di dunia. Tak terkecuali bagi sineas Indonesia. Tapi tak semua sineas berkesempatan pergi ke sana.

Seorang sineas muda Indonesia yang mujur mendapatkan kesempatan menghadiri Berlinale adalah Greg Arya. Dia yang berprofesi sebagai editor film adalah satu dari tujuh sineas muda Indonesia dalam Berlinale.

Film Gunung Kelud Bikin Tertawa Penonton Festival di Jerman

Enam yang lain ialah Wregas Bahnuteja (sutradara film pendek Lembusura), Loeloe Hendra (sutradara film pendek Onomastika), Aditya Ahmad (sutradara), Muhammad Rasidy Ariefieansyah (produser), Tara Basro (aktris), dan Arifin Putra (produser/aktor).

Dua nama yang disebut pertama pergi ke Berlin dengan biaya sponsor dari Berlinale dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sebab film mereka, Lembusura dan Onomastika, masing-masing masuk dalam Berlinale Short Berlinale Generation K Plus 2. Sedangkan lima yang lain, termasuk Greg Arya, berangkat ke negeri Panser itu secara swadaya.

Greg Arya dan empat yang lain berniat mengikuti Berlinale Talent Campus (BTC), bagian dari rangkaian festival film itu. BTC menawarkan berbagai program, seperti seminar, diskusi, workshop bagi sutradara, produser, editor, pemeran film, juga kritikus film. Berlinale juga menghadirkan sineas-sineas dunia dalam berbagai acara diskusi mereka.

Pelamar BTC sebanyak 2.559 sineas muda dari seluruh dunia. Tapi hanya 300 orang yang dipilih. Sejak tiga tahun terakhir, Indonesia, Filipina, Thailand, Peru, Brasil dan Meksiko adalah negara dengan pelamar BTC terbanyak.

Greg Arya berinisiatif sendiri demi menghadiri Berlinale pada 5-15 Februari 2015. Pekerja film asal Yogyakarta yang terlibat dalam produksi film Rumah Musim Hujan itu mencari dana sendiri untuk ongkos perjalanan. Berlinale memang  menjamin akomodasi di Berlinale. Namun setelah dihitung ternyata hanya sekitar 30 persen dari harga tiket pesawat pergi-pulang Jakarta–Berlin.

Arya bercerita, seorang rekannya kemudian menyarankan mencari dana hibah ke Ford Foundation, lembaga nonprofit asal Amerika yang mendukung proyek sosial dan budaya di negara-negara berkembang. Ia segera mengirim email dan seminggu kemudian menerima balasannya. Ford Foundation memberi selamat dan menyatakan sanggup membantu menutupi ongkos perjalanannya.

“Namun mengurusi visa ke kedutaan di Jakarta, bolak-balik Yogyakarta-Jakarta menggunakan biaya sendiri, karena saya ingin sekali ke Berlin. Saya tak peduli apakah pemerintah mendukung atau tidak,” katanya kepada VIVA.co.id.

Berbeda dengan Aditya Ahmad. Kehadirannya adalah kali kedua dalam Berlinale. Tahun lalu, film tugas akhirnya di Institut Kesenian Makassar, Sulawesi Selatan, yang berjudul Sepatu Baru meraih Special Mention sebagai film pendek terbaik pada Berlinale Generation KPlus.

Tak seperti tahun lalu yang kehadirannya di Berlinale dibantu Kementerian Pariwisata RI, tahun ini dia mencari sendri dana untuk berangkat ke Berlin.

Film Indonesia

Film Lembusura dan Onomastika adalah dua film pendek karya sineas muda Indonesia yang diputar bersama film-film lain karya sineas se-dunia dalam Berlinale.

Lembusura masuk dalam Berlinale Short bersama 26 film pendek lain karya sineas asal Bhutan, Jerman, Amerika Serikat, Jepang, dan Brasil. Onomastika masuk dalam kategori Berlinale Generation K Plus 2. Film berdurasi 15 menit itu diputar bergantian dengan lima film lain asal Prancis, Irak, Inggris, Polandia, dan Bolivia.

Lembusura berkisah seputar letusan Gunung Kelud dan mitos yang berkembang di kalangan masyarakat setempat. Wregas sang sutradara yang bermukim di gunung itu merekam letusan Gunung dan menyisipkan mitos-mitos yang berkembang di masyarakat, di antaranya, gunung yang diyakini memiliki roh.

Onomastika berkisah tentang seorang anak yang tak punya nama dan tak bersekolah. Ia tinggal bersama kakeknya yang selalu menolak memberinya nama. Film itu diambil di sebuah daerah di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dan menggunakan dialek bahasa setempat.

Selain itu, ada juga film tentang Indonesia karya Joshua Oppenheimer, sutradara asal Amerika Serikat, yakni The Look of Silence atau Senyap. Film itu masuk dalam kategori Berlinale Special.

Tahun 2013, film Oppenheimer yang menimbulkan kontroversi di Indonesia, The Act of Killing, meraih penghargaan Berlinale Panorama Publikumprize. Dengan sekitar 50 penghargaan lain dari berbagai festival, bahkan masuk dalam kompetisi Academy Award 2014, tahun ini Oppenheimer didaulat menjadi juri dalam deretan First feature Award Jury. Dia menjadi juri bersama Olga Kurylenko (pemeran gadis Bond dalam Quantum of Solace) dan sutradara asal Meksiko, Fernando Eimbcke. (ren)


Baca berita lain:



Film Gunung Kelud Bikin Tertawa Penonton Festival Film di Jerman

Film Gunung Kelud Bikin Tertawa Penonton Festival di Jerman

Film itu semula hanya untuk main-main dan tak ada anggaran khusus.

img_title
VIVA.co.id
24 Februari 2015