Komisi VII DPR: KKS Jadi Isu Penting di RUU Migas

Ketua Tim Kunjungan Kerja Komisi VII DPR Satya Wira Yudha
Sumber :

VIVA.co.id - Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha mengatakan masalah Kontrak Kerja Sama (KKS) menjadi isu penting dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas).

Hal itu disampaikan Satya Yudha dalam acara Forum Legislasi bertajuk Revisi UU Migas. Selain Satya Yudha hadir pula anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Gerindra, Ramson Siagian dan penasihat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa 17 Maret 2015.

Menurut Satya Yudha, selama ini kontrak di sektor migas bersifat lex spesialis atau khusus. Sehingga, jika ada aturan seperti UU yang baru lahir setelah kontrak dibuat, tak bisa me-illegitimate kontrak yang sudah ada. Ciri seperti ini telah ada dalam UU Migas. Menurutnya, kontraktor paling senang dengan sifat kontrak seperti ini.

“Jangan sampai kontrak bikin kebal atau lex spesialis. Masalah kontrak jadi isu tersendiri, supaya kedaulatan semangatnya sama dengan yang diinginkan Mahkamah Konstitusi (MK),” katanya.

Atas dasar itu, Satya yang juga politisi dari Partai Golkar itu menyarankan agar dilakukan stabilization clause untuk memodifikasi perjanjian hukum dalam setiap kontrak migas.

Ia percaya, klausul ini dapat melindungi kepentingan investor jika terdapat UU baru. Tujuan klausul ini agar bisa menyeimbangkan manfaat atau memeprtahankan keseimbangan ekonomi dari tanggal efektifnya kontrak.

Pimpinan DPR Nilai Sudah Cukup Bukti Jadikan Ahok Tersangka

“(Investor) Diberi hak untuk berbicara ke pemerintah, jika ada UU baru dan menyebabkan kontraknya tidak ekonomis lagi,” ujarnya.

Sementara itu, anggota Komisi VII Ramson Siagian mengatakan, perubahan status ini menjadi isu penting mengingat sistem yang dilakukan SKK Migas tak berjalan efektif. Hal ini terlihat dari penurunan lifting minyak domestik dari 1,4 juta barel per hari menjadi 780 barel per hari.

Ditambah lagi, pengguna BBM di Indonesia tak bisa menggunakan produksi domestik, sehingga harus impor. Akibatnya, impor terus bertambah dan mempengaruhi posisi rupiah. Hal ini semakin mengganggu ketahanan energi Indonesia.

“Kalau pada saat cadangan devsa menurun karena cadangan impor bisa mempengaruhi posisi rupiah. Kemudian ketahanan energi kita berkurang. Ini yang harus dilihat kalau mau merevisi UU Migas,” kata Ramson.

Sementara itu, Penasihat Reforminer Pri Agung Rahmanto sepakat bahwa status kedudukan peran dan fungsi SKK Migas menjadi isu penting dalam revisi UU.

Menurutnya, bentuk badan di level hulu  menjadi ruh di UU Migas. Sektor hulu terkait dengan aspek penguasaan dan pengusahaan. “Kalau hilir justru lebih ke aspek pengaturan regulasi,” ujarnya.

Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi (FKTE) Universitas Trisakti itu menambahkan, peran fungsi dan kedudukan lembaga mesti memenuhi aspek konstitusi. Pasalnya konstitusi menginginkan penguasaan pada tingkat pertama. Indonesia memiliki aset sumber daya alam yang melimpah.

Itu sebabnya, lanjut Pri Agung, semestinya negara yang mengelola Migas, bukan pihak ketiga. “Yang kita perlukan hulu migas, bukan badan pengawas dan lembaga regulator, tetapi entitas otoritas usaha yang bisa dilakukan sendiri, atau kalau karena keterbatasan bisa kerjasama dengan pihak lain,” katanya. (www.dpr.go.id)

Cita Citata Cabut Laporan terhadap Anggota DPR

Anggota Komisi VII DPR RI Aryo Djojohadikusumo

Komisi VII Dukung Upaya Pemerintah Perkuat Pertamina

Demi mencapai kedaulatan energi.

img_title
VIVA.co.id
4 November 2016