- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id - Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia, Ndiame Diop, menilai efisiensi realokasi anggaran reformasi pemerintahan baru, yang diterapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 pada Februari lalu, sangat positif.
Namun, katanya, target penerimaan negara yang sebesar 14,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dinilai terlalu besar dan membutuhkan penyesuaian pengeluaran.
Dia menjelaskan, alokasi belanja negara yang besar dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) dialokasikan kepada prioritas pembangunan utama, khususnya, infrastruktur serta program pertanian dan sosial.
"Sepanjang tahun 2015, pihak yang berwenang tampaknya akan menghadapi tantangan dalam penyesuaian belanja untuk merealisasikan penerimaan negara kembali," ujarnya di Jakarta, Rabu 18 Maret 2015.
Kendati demikian, dia berharap defisit fiskal pemerintah tidak melampaui 2,5 persen dari pertumbuhan ekonomi. Defisit bisa meningkat tahun ini akibat naiknya pengeluaran negara.
Oleh karena itu, lanjutnya, defisit tersebut akan dibatasi melalui pemotongan anggaran atau rendahnya pencairan anggaran pada beberapa bidang, termasuk belanja modal.
Menurut Diop, realokasi anggaran belanja modal pemerintah terhadap peningkatan infrastruktur oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan memberikan dorongan yang diharapkan melalui investasi.
Akan tetapi, dia mengungkapkan, tantangannya adalah terkait proses perizinan yang dinilai rumit, mahal dan menghabiskan waktu lama.
"Indonesia kini berada pada peringkat 114 dari 189 negara dalam hal kemudahan usaha, seperti yang diukur oleh Bank Dunia," tambah Diop. (ren)
Baca Juga: