- VIVA.co.id/Dyah Pitaloka
VIVA.co.id - Puluhan pelajar sekolah dasar terlihat sedang bergantian menunggu giliran di lapangan berkuda Selamet Hadi Desa Giripurno, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Sabtu 20 Juni 2015.
Sebagian menunggu giliran naik kuda, sisanya sedang memegang busur panah dan membidikkan anak panah ke papan target.
“Sambil mengisi liburan Ramadhan, anak-anak bisa belajar ketangkasan sekaligus memperbanyak pengetahuan agama,” kata guru kelas III SD Muhammadiyah IV Batu, Nur Ita Rahmawati.
Ita membawa 25 siswa kelas tiga di tempatnya seizin wali murid. Di lapangan pacuan kuda itu, masing-masing siswa belajar menunggang kuda, dibimbing oleh santri Pondok Pesantren An Nashr.
Tak ada persyaratan khusus untuk bisa menunggang kuda, selain telah berusia di atas 5 tahun. Siswa akan dibimbing santri mengitari lapangan pacuan seluas setengah lapangan bola itu.
Setelah itu, jika siswa berani, mereka akan dilepas untuk memacu kudanya sendiri. “Awalnya takut, tapi ternyata enak. Saya berputar dua kali sendirian, kudanya namanya Bahar, sangat jinak,” kata Yafi Pranatal, salah seorang siswa.
Usai berkuda, Yafi antre bermain panah. Menggunakan busur panah tradisional dengan mata panah dari bambu, Yafi beberapa kali bisa menancapkan anak panah ke papan target yang terletak sekitar lima meter di depannya.
"Pernah lihat memanah di lapangan Arhanud, tapi belum pernah main. Ternyata saya bisa,” tutur siswa yang lincah itu.
Mengikis Stigma Negatif
Panitia hari berkuda dan memanah adalah ibu rumah tangga, anggota pengajian wanita di Pondok Pesantren An Nashr, yaitu pengajian Salsabilah.
Ketua panitianya, Umi Masyitoh, menyatakan, kegiatan berkuda dan memanah khusus Ramadhan sudah disebar lewat brosur sejak beberapa pekan sebelum Ramadhan.
Hal itu sebagai bagian dari syiar agama, untuk memasyarakatkan sunah Rasul tentang berkuda dan memanah.
“Di lingkungan pondok kami ada kegiatan berlatih berkuda dan memanah setiap dua minggu sekali. Ini untuk menyebarkan sunah Rasul. Di Eropa kegiatan berkuda sudah populer untuk berbagai terapi kesehatan dan berbagai pendidikan lain,” katanya.
Selain syiar untuk memasyarakatkan olahraga berkuda, kegiatan pondok juga bertujuan mengikis kesan negatif tentang muslim yang bercadar dan berjubah dalam kegiatan keseharian mereka.
Pengasuh pondok pesantren An Nashr 3, Musyarofah menyatakan, upaya memasyarakatkan berkuda dan memanah adalah bagian untuk mendekatkan diri pada masyarakat sekitar.
"Kami paham ada stigma buruk tentang muslim dan muslim yang bercadar atau bersorban. Akibat ISIS yang seperti itu, semua jadi banyak menyamaratakan. ISIS bukanlah Islam, mereka hanya berbaju seperti kami. Lewat berkuda dan memanah ini, kami ingin mengikis stigma buruk tentang berjubah, bercadar, dan bersorban,” katanya