Pengrajin Serat Alami Mampu Raup Rp100 Juta/bulan

Hartono
Sumber :
  • VIVA.co.id/Daru Waskita
VIVA.co.id
Miliarder Sara Blakely Berbagi Nasihat Bisnis Terbaiknya
- Pabrik
handycraft
Tak Selesai Kuliah, Ahmed Haider Ciptakan Aplikasi Drone
tempatnya bekerja di Bali gulung tikar pada tahun 1993. Namun, kejatuhan itu tak membuat Hartono (45) putus asa.
Kisah Shelby Clark Temukan Ide Aplikasi Penyewaan Mobil

Pulang ke kampung di Dusun Bangeran, Desa Sabdodadi, Kecamatan Bantul, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Hartono mencoba meneruskan keahliannya bersama beberapa temannya memproduksi tas dari kulit.

Rezeki pun tak jauh dari pria yang kini dikaruniai tiga anak itu. Salah seorang pembeli langganan perusahaan handycraft di Bali datang ke rumahnya dan memesan tas kulit senilai Rp500 ribu.

"
Handycraft
tas kulit yang saya dirikan ternyata berkembang cukup pesat, bahkan harus menambah sekitar tujuh karyawan dari semula tiga karyawan yang semuanya adalah mantan karyawan pabrik
handycraft
di Bali yang gulung tikar," kata Hartono, pemilik Syifa Craft kepada
VIVA.co.id
, Kamis 25 Juni 2015.


Sempat berkembang pesat, tetapi menjelang krisis ekonomi, usahanya terkena dampak. Mahalnya harga bahan baku kulit tak sesuai lagi dengan harga yang ditawarkan pemesan.


"Tahun 2002 saya kemudian mengganti bahan baku dari vinil dan serat alam yang harganya relatif terjangkau," katanya.


Produk yang dibuatnyapun tidak hanya tas, tetapi bermacam-macam produk, seperti tempat parcel, tatakan untuk gelas dan toples, kotak untuk menyimpan perhiasan, hingga kotak P3K.


"Ternyata produk tersebut cukup laku. Harganya relatif terjangkau  karena bahan baku cukup mudah didapat, di wilayah Bantul pun sudah tersedia cukup banyak," ujarnya.


Menurutnya, setiap menjelang hari raya seperti Lebaran atau Natal, pesanan yang sangat banyak adalah kotak untuk tempat parcel.


Dia menuturkan, saking banyaknya pesanan dari berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali dan Medan, pembuatan kotak parcel melibatkan para tetangga yang dikerjakan di rumahnya.


"Bahan baku kami beri dan mereka membuat produk setengah jadi. Untuk
finishing
kami sendiri yang mengerjakan, agar kualitas tetap terjaga," tuturnya.


Produk yang akan diproduksi biasanya didesain sendiri, tetapi juga ada calon pembeli yang sudah menyerahkan desain.


"Kami fleksibel. Jika minta didesainkan, kami buatkan. Jika ingin membuat desain sendiri, kami tinggal mengerjakan desain tersebut," ungkap suami dari Lestari (42) ini.


Hartono menjelaskan, untuk harga produk yang dihasilkannya bervariasi, mulai dari Rp45 ribu seperti tempat parcel hingga Rp350 ribu untuk set toples.


"Namun, kalau sudah keluar dan dijual di supermarket atau di galeri, maka harganya bisa melonjak tiga kali lipat," tuturnya.


Menjelang Lebaran seperti saat ini, kata Hartono, dia bisa mendapatkan pesanan di atas Rp100 juta per bulan.


"Ya, minimal dalam satu bulan kami bisa menjual produk dan melayani pesanan dalam kisaran Rp100 juta. Lumayan, bisa untuk menggaji 17 karyawan saya," ungkapnya.


Meski kini usahanya mendapatkan pemasukan yang cukup tinggi, tetapi Hartono mengaku sangat kecewa karena banyak produk asli miliknya banyak dijiplak oleh orang lain.


Terkadang harga jauh lebih rendah sehingga terkesan tidak ada penghargaan terhadap hak karya cipta.


"Memang sampai saat ini saya kesulitan untuk mendaftarkan produk saya ke HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), di samping biayanya yang mahal," paparnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya