Kinerja Buruk Menko Perekonomian Bukan Salah Jonan dan Amran

Menteri Pertanian Amran Sulaiman di Jawa Timur.
Sumber :
VIVA.co.id
Indonesia Terancam Krisis Petani
- Kinerja Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Sofyan Djalil dianggap paling buruk dan direkomendasikan untuk direshuffle berdasarkan penelusuran Politica Wave. Hal ini dikarenakan ada beberapa menteri ekonomi yang bandel karena tak pernah mengikuti rapat koordinasi dengan Menko Perekonomian, di antaranya Menteri Perhubungan (Menhun) Ignasius Jonan dan Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman.

Rutin Impor Daging Sapi, Solusi Turunkan Harga?
 
Jokowi Tak Puas Harga Beras Cuma Turun 1,1 Persen
Pengamat Perekonomian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Ina Primiana mengatakan, tak bisa hadirnya Menhub Jonan dan Mentan Amran dalam rapat koordinasi tidak bisa disalahkan dalam mengurangi efektivitas kinerja Sofyan Djalil. Menurut dia, Amran memang harus menjaga produktivitas pangan demi tercapainya swasembada pangan yang ditetapkan pemerintah.
 
"Selama itu benar, ya tidak bisa disalahkan. Kan memang Pak Amran harus menjaga pangan untuk swasembada. Apalagi menjelang lebaran, pangan itu kan harus dijaga agar tak berimbas pada lonjakan harga mengingat tingginya permintaan. Dan lagi dalam rapat itu Amran bisa diwakilkan oleh Dirjen Eselon I," ujar Ina saat dihubungi di Jakarta, Kamis 16 Juli 2015.

 

Pengamat Pertanian, Hermanto Siregar menilai, kinerja Menhub dan Mentan memang masih di bawah espektasi masyarakat. Namun, dua menteri ini juga bukanlah tanpa prestasi walau belum genap setahun menjabat.

 

"Jonan misalnya, dia memang berhasil merapikan transportasi kereta api. Namun dia harus tetap memperhatikan hal-hal lain yang tidak kalah penting seperti tingginya kecelakaan di Tol Cipali dan kebakaran di bandara belum lama ini," ungkapnya.

 

Sedangkan Mentan Amran, lanjut Hermanto, harus memperhatikan pertanian lainnya selain padi meskipun berhasil menaikkan produksi padi nasional.

 

"Pertanian kan bukan hanya padi, banyak lainnya juga perlu diperhatikan. Menteri Pertanian memang berhasil menahan impor beberapa komoditas seperti padi, bawang, cabe, tapi kan masih ada juga yang masih impor seperti buah-buahan," paparnya.

 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja Mentan Amran turut pula meningkatkan kinerja perekonomian dalam negeri. BPS melaporkan, produksi padi pada tahun ini diperkirakan mencapai 75,5 juta ton gabah kering giling (GKG) yang meningkat 4,70 juta ton GKG atau 6,64 persen dari tahun sebelumnya. Sementara produksi pada 2014 hanya 70,85 juta ton GKG atau turun 0,45 juta ton (0,61 persen) dibandingkan 2013. Ini merupakan peningkatan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir.

 

Bahkan dari pencapaian tersebut, Amran mendapat pujian dan plakat penghargaan dari Komisi IV DPR RI karena mampu mengamankan stok pangan dan benar-benar terjun langsung ke lapangan.

"Belum pernah kami kasih plakat ke menteri. Menteri yang lain belum ada yang dikasih," ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Herman Khaeron saat kunjungan kerja bersama Mentan Amran di Pasar Induk Cibitung beberapa waktu lalu.

 

Ketua DPR RI, Setya Novanto pun turut memberi apresiasi atas kinerja Mentan Amran. Menurut dia, Amran berhasil menstabilkan harga-harga bahan kebutuhan pokok dengan mendongkrak produksi hasil pertanian seperti beras, bawang, cabai dan yang lainnya tanpa harus melakukan impor.

 

Terkait tak hadir dalam rapat koordinasi perekonomian, Amran meminta izin terlebih dahulu kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden pun mempersilakan Amran untuk turun ke lapangan guna menjaga produktivitas pertanian. Namun, Amran diminta untuk tetap berkoordinasi dengan mengirimkan perwakilan Eselon I Kementerian Pertanian (Kementan) untuk menghadiri rapat-rapat koordinasi bersama dengan Menko Perekonomian.

 

Tak hanya itu, kinerja Amran terlihat pada tingginya serapan anggaran kementerian. Tercatat, serapan anggaran Kementan merupakan yang tertinggi di antara kementerian-kementerian teknis lainnya dengan capaian serapan sebesar 23 persen dari total anggaran Rp35 triliun per Mei 2015.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya