Catatan Devaluasi Yuan dan Pengaruhnya ke Indonesia

Ilustrasi Yuan.
Sumber :
  • REUTERS
VIVA.co.id
Rupiah Melemah, Tertekan Gejolak Ekonomi Global
- Sejak akhir tahun 2014, China terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk mendorong perekonomiannya yang melambat, melalui relaksasi kebijakan investasi dan pelonggaran moneter. Namun upaya tersebut belum efektif menghasilkan dampak yang diharapkan. 

IHSG Diproyeksi Naik, Ini Pendorongnya
Hal itu terlihat dari rilis data-data ekonomi yang dikeluarkan, terakhir Juli lalu misalnya, realisasi kinerja ekspor negara tersebut minus delapan persen secara  year on year (dibandingkan ekspektasi awal minus satu persen pada periode tersebut).

Lebih Oke Mana, Ekonomi RI atau Brasil?
Purchasing Managers Index (PMI) yang dirilis negara tirai bambu tersebut juga mulai menunjukkan berada di area kontraksi, pertumbuhan produk industrinya pun di bawah ekspektasi pasar sebesar sembilan persen. Pada periode tersebut industri di China hanya tumbuh enam persen. 

Dikutip dari catatan investasi PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) yang diterima VIVA.co.id Kamis 13 Agustus 2015 saat ini kebijakan China diluar perkiraan para analis.  

Pada 11 Agustus 2015, People's Bank of China (PBoC) atau bank sentral China mengimplementasikan kebijakan terbaru dengan melakukan devaluasi Chinese Yuan Renminbi (CNY) rates sebesar 1,9 persen. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya meningkatkan daya saing ekspor dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi jangka panjang. 

Keputusan devaluasi ini memicu penjualan saham dan pelemahan mata uang secara global, dimulai dari kawasan Asia, diikuti Eropa, dan Amerika Serikat. 

Di Indonesia sendiri di hari yang sama, indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok 2.66 persen ke level 4,622.59 dan rupiah melemah 0.41 persen ke level Rp13,607 per dolar . Walaupun dalam rilis resmi pertamanya, PBoC  menyatakan bahwa devaluasi ini adalah 'one off devaluation' atau hanya sekali di lakukan. 

Tapi, kenyataannya Rabu tanggal 12 Agustus, PBoC kembali menurunkan reference ratenya atau CNY rates dari 6.2298 ke 6.3306, yang artinya devaluasi lebih lanjut sebesar 1,6 persen. 

Langkah ini secara spontan kembali membuat pasar saham dan mata uang global kembali anjlok, termasuk IHSG dan Rupiah. Pada 12 Agustus, IHSG melemah 3.1 persen ke level 4,479.49 dan rupiah melemah 1.42 persen ke level Rp13,799 per dolar AS.

Tidak hanya itu, Kamis, 13 Agustus, China masih meneruskan . Namun dalam konferensi yang dilakukan, Deputi Gubernur PBoC Yi Gang menyatakan, rezim nilai tukar China sekarang lebih terarah pada orientasi pasar dan baik untuk stabilitas nilai tukar jangka panjang. 

Menurut MAMI ada satu komentar menarik yang dinyatakan adalah bos bank sentral China tersebut. "Penyesuaian nilai tukar RMB pada dasarnya selesai," kata Yi Gang. 

Dia juga menyatakan berita yang menyatakan PBoC akan mendevaluasi CNY sampai 10 persen adalah berita yang tidak masuk akal.

Walaupun langkah selanjutnya dan tujuan konkrit kebijakan pemerintah China terkait nilai tukar Yuan masih belum terlalu jelas, MAMI menilai potensi terjadinya kembali devaluasi CNY akan lebih terbatas. 

Terlihat bahwa China berulang kali memposisikan diri akan beralih dari negara dengan orientasi ekspor menjadi negara dengan orientasi konsumsi domestik. Sehingga pelemahan yang terlalu berlebihan pada nilai tukar CNY tentu akan menghambat kekuatan konsumsi domestik masyarakat China.
 
Selain itu, devaluasi CNY secara berlebihan akan menghambat langkah pemerintah China yang menginginkan CNY menjadi sebagai salah satu mata uang dengan status Special Drawing Rights (SDR) yaitu mata uang yang digunakan Dana Moneter Internasional (IMF). 

Mencermati kondisi saat ini dan kaitannya terhadap pengelolaan portofolio saham yang dilakukan, Director of Investment MAMI, Alvin Pattisahusiwa menyampaikan, pihaknya  akan secara fleksibel melakukan penyesuaian dengan mempertimbangkan beberapa hal, antara lain: 

1. Tetap fokus dalam melakukan pendekatan bottom-up, mencari emiten-emiten yang memiliki valuasi dan fundamental baik yang dapat beradaptasi dengan kondisi ekonomi saat ini.

2. Dengan terus memonitor perkembangan , pada saat ini MAMI memilih fokus pada saham-saham yang lebih defensif dan memiliki prospek pertumbuhan yang baik dan valuasi menarik.

3. Terus mencermati likuiditas dan volatilitas pasar agar memberikan hasil yang optimal dengan risiko yang terkendali. 

Sedangkan untuk pengelolaan portofolio obligasi, MAMI akan senantiasa melakukan penyesuaian pada durasi portofolio dalam menghadapi volatilitas pasar, dengan mencari sweet spots pada tenor-tenor tertentu.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya