LIPI Sebut Hutan Indonesia Basah, Tak Mudah Terbakar

Upaya Pemadaman Kebakaran Lahan di Sumatera Selatan
Sumber :
  • REUTERS/YT Haryono
VIVA.co.id
Mengapa Praktik Bakar Hutan Berulang Lagi?
- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan bahwa kebakaran hutan di Tanah Air sebenarnya tidak masuk akal. Sebab, Indonesia merupakan negara tropik yang sebagian besar kawasannya memiliki lahan basah.

Satelit Lapan Deteksi 232 Hotspot Jelang Puncak Kemarau

Tukirin, peneliti Pusat Penelitian (Puslit) Biologi LIPI, menuturkan bahwa ekosistem hutan tropik pada dasarnya tidak bisa terbakar secara alami, sekalipun daerah tersebut beriklim kering.
Jelang Puncak Kemarau,Titik Api di Sumatera Meningkat


Diketahui, Indonesia mempunyai kawasan iklim basah dengan curah hujan lebih dari 2.000 mm3 per tahun, sehingga memiliki tutupan hutan dengan karakteristik hutan hujan tropik. Ciri utama ekosistem hutan ini yaitu adanya keanekaragaman hayati dan kelembaban yang tinggi.

Lebih lanjut, menurut Tukirin, kebakaran hutan yang kian marak terjadi belakangan ini, hingga menimbulkan asap yang menyelimuti, adalah akibat pengelolaan hutan yang kurang tepat.


"Pengelolaan hutan yang salah menyebabkan menurunnya kelembapan udara dan bukaan kanopi. Ini berakibat serasah dan material runtuhan di lantai hutan jadi kering. Bahan-bahan runtuhan dan serasah tersebutlah yang memicu kebakaran di areal hutan tropik di Indonesia," ujar dia di Kantor LIPI, Jakarta, Kamis, 17 September 2015.


Serasah adalah sampah-sampah organik yang berupa tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai sisa vegetasi lainnya di atas lantai hutan.


Tukirin menjelaskan bahwa kebakaran hutan lahan itu ada campur tangan manusia. Menurut Tukirin, dengan kebijakan pengelolaan yang kurang pas menjadi faktor hutan tropik berubah kering dan mudah terbakar.


"Misalnya, gambut itu luar biasa serapan airnya hingga lima kali lipat dari beratnya. Contohnya, gambut beratnya lima kilogram, maka ia akan menyerap air 25 kilogram. Artinya, tidak mungkin terbakar. Ini salah pengelolaan yang dibuka dan dikeringkan," kata dia.


Ilmuwan dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Dr. Herman Hidayat menambahkan bahwa kebakaran hutan bersumber dari lahan gambut yang seharusnya berfungsi untuk menyerap dan menyimpan air. Sayangnya fungsi itu saat ini sudah berubah akibat industri usaha.

 

"Lahan gambut sebenarnya tidak boleh digunakan oleh pengusaha untuk budidaya kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Idealnya peraturan ini dipatuhi karena sudah diatur oleh pemerintah," ungkap Herman.


Dia melanjutkan, lahan gambut dapat mudah terbakar apabila mengalami kekeringan dan cuaca panas, sehingga pembakaran kecil dapat secara cepat menyebar.


“Lahan gambut memang dapat digunakan untuk industri dengan kedalaman  penggunaan tanah tidak lebih dari tiga meter. Namun praktiknya ditemukan lebih dari tiga meter lahan gambut dioperasionalkan untuk perkebunan kelapa sawit, agroforestry, dan HTI," kata Herman.


Dikatakannya, kontrol dan pengawasan pemerintah yang lemah dalam mengawasi proses eksplorasi perusahaan serta tumpang tindih lahan ditengarai menjadi penyebab lain dari kebakaran hutan di Indonesia.


"Sebagai contoh, warga pendatang menggunakan lahan gambut yang telah ditinggalkan industri untuk berkebun dengan cara membakarnya. Inilah pemicu kebakaran hutannya," sambungnya.


Herman menambahkan, perlu penegakan hukum yang tidak diskriminatif bagi pengusaha yang terlibat kebakaran hutan karena dampaknya yang sangat merugikan negara. Selain penegakan hukum juga dibutuhkan pengawasan khusus terhadap pelaku penebangan liar, pendudukan lahan, dan deforestasi hutan Indonesia.


"Perlu koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengawasi pihak swasta yang telah diberikan izin untuk HTI dan perkebunan. Mereka harus bertanggungjawab pada titik api di masing-masing lahannya," kata Herman.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya