- VIVA/Lilis Khalisotussurur
VIVA.co.id - Kuasa hukum terpidana mati Su'ud Rusli yang mengajukan ke MK, Boyamin Saiman, menilai pemerintah masih enggan mengakui kesalahan dalam hal pembatasan waktu pengajuan grasi. Dalam keterangan di sidang MK, pemerintah yang diwakili Kementerian Hukum dan HAM beralasan batas pengajuan grasi muncul karena banyaknya pengajuan permohonan grasi.
"membuat hak konstitusional warga negara tercederai," ujar Boyamin saat ditemui usai sidang uji materi UU Grasi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin 12 Oktober 2015.
Ia mengatakan bagaimana bisa grasi diberikan batasan waktu setelah adanya putusan inkracht. Setelah putusan inkracht yaitu tahap kasasi, terpidana biasanya mengajukan peninjauan kembali (PK) ketika menemukan bukti. Tahap PK saja memerlukan waktu yang kurang lebih satu tahun.
Menurut Boyamin, jika pengajuan PK saja setelah putusan inkracht bisa memakan waktu satu tahun atau lebih, maka terpidana memiliki waktu yang sangat mepet bahkan tidak cukup waktu untuk mengajukan grasi. Sehingga terpidana dipaksa untuk memilih mau mengajukan PK atau grasi.
Ia menilai UU Grasi yang lama lebih jelas mengatur persoalan pengajuan grasi karena pengajuan grasi tidak dibatasi. Karena itu ia berniat untuk meminta Majelis mendatangkan perwakilan Sekretariat Negara yang memiliki wewenang dalam persoalan grasi. Ia ingin mengetahui ada berapa banyak grasi yang menumpuk sehingga dijadikan alasan bagi pemerintah membatasi pengajuan grasi.
Sebelumnya, dalam sidang uji materi UU Grasi, pemerintah menyatakan perlu ada pembatasan waktu pengajuan grasi karena banyaknya permohonan grasi yang menumpuk. Lalu banyak juga yang memanfaatkan pengajuan grasi untuk menunda eksekusi mati seorang terpidana.
Terpidana mati Su’ud Rusli mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi (UU Grasi). Ia menguji Pasal 7 ayat (2) UU Grasi yang mengatur permohonan grasi yang dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu satu tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.