Kecelakaan Kapal Bukti Ketidakprofesionalan Pemerintah

Anggota DPR RI Bambang Haryo Soekartono
Sumber :
VIVA.co.id
Setiap Hari Ada Kecelakaan, Tol Tangerang Merak Masuk Dalam Kategori Rawan
- Kecelakaan kapal yang menimpa Kapal Motor (KM) Wihan Sejahtera, Senin pagi 16 November 2015, merupakan bukti ketidakprofesionalan pemerintah dalam mengelola pelabuhan dan izin kapal. Termasuk tidak profesional dalam mengelola ekosistem laut dari pencemaran tumpahan minyak.

Kecelakaan Boat Paspampres, Satu Belum Ditemukan

Banyak kementerian yang bisa dipersalahkan dalam kecelakaan kapal di perairan Teluk Lamong, Jatim itu. Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan, dan Kementerian Lingkungan Hidup harus bertanggung jawab atas dampak kecelakaan tersebut. UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No 17/2008 tentang Pelayaran juga banyak dilanggar oleh perusahaan pelayaran yang mengangkut penumpang dari Tanjung Perak ke Labuan Bajo ini.
Ratusan Penumpang Kapal Mutiara Dievakuasi ke Dermaga I Bakauheni


Anggota DPR RI Bambang Haryo Soekartono (dapil Jatim I), mengungkapkan, banyak temuan pelanggaran baik yang dilakukan perusahaan pelayaran maupun kementerian terkait. KM Wihan Sejahtera ternyata tidak memiliki sertifikat kelas, sebagai bukti lulus penilaian konstruksi dan kelengkapan dari Kemenhub seperti diamanatkan UU Pelayaran.


“Harusnya saat didaftarkan ada selektifitas yang ketat untuk menilai kelayakan kapal. Semua kapal yang berlayar di Indonesia wajib masuk kelas,” ujar Bambang di ruang kerjanya, Rabu 18 November 2015. Temuan lainnya adalah, para penumpang tidak mendapat klaim asuransi atas mobil miliknya yang ikut tenggelam. Padahal itu hak para penumpang. Saat terjadi kecelakaan, Basarnas juga tak bergerak cepat mengevakuasi para penumpang.


“Banyak keluhan dari para penumpang, termasuk kerugian kendaraan pasca kecelakaan kapal. Mereka tidak diberikan pelayanan dan evakuasi tidak dilakukan dengan baik, karena penumpang tidak diberikan jaket keselamatan (pelampung). Tidak ada instruksi harus lari ke mana. Korban kocar-kacir. Untung kecelakaan terjadi di alur Surabaya Barat atau dekat alur Gersik di Teluk Lamong. Kalau terjadi di tengah laut mungkin banyak korban jiwa berjatuhan,”ujarnya.


Politisi Partai Gerindra ini menilai, perusahaan pelayaran pemilik KM Wihan itu tidak punya kompetensi di bidang transportasi terutama manajemen keselamatan pelayaran. Selain melanggar UU Konsumen, perusahaan tersebut juga melanggar UU Pelayaran.


“Kesalahannya berlipat-lipat begitu banyak. Belum lagi, tumpahan minyak dari kapal yang mencemari laut juga tidak ditangani Kementerian Lingkungan Hidup,”kata Bambang.


Pencemaran ekosistem laut luput dari perhatian pemerintah. Ada sekitar 100 ton BBM di dalam kapal. Mestinya bisa segera dilakukan pencegahan pencemaran laut dengan menggunakan oil boom, yaitu alat untuk melokalisir tumpahan minyak di laut. Dikemukakan Bambang, laut di Teluk Lamong memang sudah tercemar.


“Setelah dicek memang tidak ada oil boom dan laut di sana bau minyak. Mestinya begitu ada kapal terbalik, tugas pemerintah untuk melindungi dari pencemaran,”katanya.

Sementara itu, soal penyebab kecelakaan kapal hingga kini belum jelas. KNKT sendiri masih menginvestigasi kronologi kecelakaan. Kesaksian penumpang kapal sebelum tenggelam menyebutkan, sempat ada suara benturan keras. Ini menimbulkan dugaan kapal menabrak benda keras. Kesaksian lain menyebutkan, kapal kelebihan penumpang.


Bambang menilai, titik kecelakaan KM Wihan jauh dari lokasi bangkai kapal atau karang besar. Jalur pelayarannya cukup lebar. Jadi megherankan bila terjadi benturan. Di perairan tersebut, sambung Bambang, memang banyak bangkai kapal peninggalan perang. Tapi, rambu-rambu laut sudah terpasang. “Tugas pemerintah mengangkat bangkai tersebut, sehingga perairan kita bersih dan tidak membahayakan,”ujarnya.


Seperti diketahui, saat terjadi kecelakaan, lunas (bagian terbawah) KM Wihan bocor. Inilah yang menguatkan dugaan kapal menabrak benda keras di laut dangkal. Sementara keterkaitannya dengan Pelindo III sebagai operator pelabuhan, hanya sebatas operasional pandu. Setiap kapal, tutur Bambang, harus punya pandu yang membawa kapal dari pelabuhan ke luar alur.


“Pandu itu dari Pelindo III. Saya belum tahu, apakah kapal itu sudah dipandu benar atau dia memang tidak memanggil pandu. Kalau tidak memanggil pandu, tambah salah lagi, karena melanggar UU Pelayaran,” kata Bambang lebih lanjut. (www.dpr.go.id)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya