Lino Tunduk ke Asing, Ini Bukti dan Penjelasannya

Ativitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Kontrak kerja sama PT Pelindo II dengan perusahaan milik Pengusaha Hongkong Li Ka Shing, Hutchinson Port Holding (HPH), terkait operasional Terminal Peti Kemas Jakarta (JICT) yang diteken 2014 dinilai melanggar UU. Bila dilanjutkan, maka potensi kerugian negara bisa mencapai Rp20-30 triliun bila kontrak itu selesai pada 2038.

Seperti disampaikan oleh Anggota Pansus Pelindo II DPR RI, Sukur Nababan, perjanjian perpanjangan kontrak pengelolaan JICT antara Pelindo II dan HPH jelas melanggar UU.

"Jelas kontrak itu diteken sepihak tanpa persetujuan pemerintah padahal disyaratkan UU," tegas Sukur Nababan, Senin 23 November 2015.

Dia menyindir pernyataan Dirut Pelindo II RJ Lino yang mengklaim perusahaan BUMN itu dan Indonesia diuntungkan dengan perpanjangan kontrak dengan HPH dari 2014 hingga 2038. Padahal, menurut Politikus PDI-P itu, semua direkayasa dan faktanya negara dirugikan banyak.

Di kontrak pertama yang berlaku 1999-2019, HPH mengelola JICT dengan mendapatkan saham 51 persen, fee technical know how, dan dividen. Sementara Pelindo II mendapatkan jatah saham 48,9 persen, dan 0,1 persen bagian Koperasi Karyawan.

Seharusnya, pada 2019, kontrak habis dan JICT menjadi 100 persen dimiliki Pemerintah Indonesia melalui PT.Pelindo II. Namun, secara diam-diam dan sepihak, kontrak diperpanjang pada 2014, dengan durasi hingga 2038.

Di perjanjian kedua itu, kepemilikan saham HPH adalah 49 persen, dan Pemerintah Indonesia melalui Pelindo II adalah 51 persen. Lalu sistem royalti diganti sewa USD 85 juta pertahun, dan fee technical know how dihilangkan. Pelindo II mendapatkan USD 215 juta di depan.

"Dari situ saja sudah mudah dihitung. Kehilangan HPH adalah kepemilikan saham selama sisa kontrak 2014 sampai 2019, 51 persen dikurangi 49 persen, yakni 2 persen. Dikali lima tahun, HPH kehilangan 10 persen. Tapi dengan perpanjangan kontrak sampai 2038, HPH dapat 49 persen," jelas Sukur.

"Dari perpanjangan kontrak sampai 2038 itu, HPH dapat 882 persen. Dikurangi rugi 10 persen tadi, dia untung 872 persen. Dan nilainya itu cuma 215 juta dollar. Dan itu yang dibanggakan oleh Lino," kata Sukur dengan nada menyindir.

Dan yang belum diketahui publik secara terbuka, kata Sukur lagi, bahwa nilai JICT 'dimainkan' sedemikian rupa sehingga menjadi rendah. Penilaian rendah itu berkonsekuensi pada makin besarnya potensi kerugian negara.

Tabir soal itu mulai terbuka ketika Pansus Pelindo memanggil konsultan keuangan yang dipakai Pelindo II untuk membuat valuasi dan penawaran JICT ke HPH. Pertama adalah Deutsche Bank (DB), yang belakangan mengaku kepada Pansus bahwa HPH adalah klien lama mereka.
Dari data-data yang masuk ke Pansus, kata Sukur, ditemukan bahwa ada komponen biaya operasional. Asumsi biaya operasional, artinya harus ada sejarah operaisonal JICT selama 10 tahun.

Dari dokumen, diketahui komponen biaya operasional JICT itu di kisaran 55-63 persen. "Namun di dalam valuasi oleh DB, komponen itu naik jadi 78 persen. Kenapa dinaikkan? Agar untung perusahaan menjadi rendah. Tujuan akhirnya agar nilai saham rendah, sehingga HPH membeli JICT dengan harga murah. Itu financial engineering," jelasnya.

Metode kedua yang digunakan DB untuk semakin merendahkan nilai JICT adalah dengan membuat debt performa, yakni seakan-akan JICT akan memiliki utang masa depan.

"Tujuannya itu agar nilai saham makin jatuh lagi. Jadi sudah dirampok di asumsi biaya operaisonal, dirampok lagi di debt performa. Mereka buat seolah-olah utang JICT diprediksi 30 persen di masa depan," jelas Sukut.

"Padahal JICT itu, kalau dilihat history-nya sejak 1999 sampai 2014, dia tak punya utang. Capital Expenditure saja selalu dari uang sendiri, tak pernah ngutang."

Akibat permainan itu pula maka HPH hanya menyetor USD 215 juta untuk nilai saham Pemerintah di JICT sebesar 49 persen. Belakangan, ketika Pansus memanggil pihak DB, kata Sukur, ketahuan bahwa Pelindo II baru menjadi klien mereka sejak Juli 2013. Tugas DB adalah membuat valuasi dan penawaran JICT.

"Sementara dia (DB) mengaku HPH itu lklien lama. Kenal pelindo sejak juli 2013. Dia ditugaskan Pelindo untuk bikin valuasi JICT untuk ditawarkan ke HPH. Berarti dia (DB) kerja buat siapa? HPH klien lama dia. Coba saja anda analisa sendiri," kata Sukur.

Dilanjutkannya, salah satu komisaris Pelindo II, saat valuasi DB dikeluarkan, mencium aroma tak sedap. Lalu memanggil Financial Research Institute (FRI) untuk melakukan penghitungan ulang.

"Keluarlah hasilnya, harga USD 215 juta itu hanya setara 25 persen nilai saham JICT, bukan 49 persen. Ngamuk lah direksi pelindo, dan FRI dipecat," kata Sukur.

Dia sendiri sudah membuat versi hitungan sendiri soal potensi kerugian negara bila kontrak sepihak Lino dengan HPH dilanjutkan sampai 2038.

Pimpinan DPR Nilai Sudah Cukup Bukti Jadikan Ahok Tersangka
Anggota Komisi VII DPR RI Aryo Djojohadikusumo

Komisi VII Dukung Upaya Pemerintah Perkuat Pertamina

Demi mencapai kedaulatan energi.

img_title
VIVA.co.id
4 November 2016