Kini Limbah Berbahaya Bisa Terdeteksi dengan Alat

Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Limbah dari kawasan industri merupakan salah satu sumber pencemaran air. Seiring dengan perkembangan teknologi limbah tersebut juga bisa menjadi salah satu solusi dari krisis air bersih di sejumlah kawasan di Indonesia.

Holding BUMN Energi Diupayakan Terealisasi Tahun Ini
Untuk memutus salah satu mata rantai krisis air bersih, sejumlah kalangan memandang perlu kehadiran langsung negara dalam pengelolaan limbah cair kawasan industri sebagai bagian dari upaya penyediaan air bersih bagi masyarakat yang menjadi tanggungjawab Negara.
 
Bentuk Holding BUMN, Menteri Rini Sowan ke Menko Darmin
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang energi dan pengolahan air, PT Energy Management Indonesia (EMI) mengklaim, mampu mengelola air limbah termasuk yang memiliki kandungan Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) hingga menjadi air bersih yang sesuai standar kesehatan nasional dan internasional.
 
Jadi Induk Holding BUMN Energi, Ini Tanggapan Pertamina
Direktur Utama EMI Aris Yunanto mengatakan, intervensi negara dalam hal ini BUMN dalam pengelolaan limbah cair industri sebaiknya memang dilakukan sebagai bagian dari pengawasan kualitas pengelolaan limbah cair. Dan juga dalam kerangka tindakan pencegahan terjadinya pencemaran dan memastikan keberlangsungan daya dukung lingkungan untuk seluruh warga Negara.
 
"EMI memiliki sistem monitoring dan alat yang mampu mengukur kualitas dan kadar kandungan zat dalam air di masing-masing saluran pembuangan. Jika kualitas air tidak sesuai dengan baku mutu, maka alat akan menyalakan alarm system pemantauan di pusat pantauan," ujar Aris keterangan pers yang diterima VIVA.co.id, Jumat 22 Januari 2016. 
 
Ia menambahkan, EMI siap mendukung pemerintah dalam upaya penyediaan sistem tersebut dari tingkat pusat hingga ke daerah.
 
Dengan sistem yang dimiliki, pemerintah tinggal menyiapkan unit-unit reaksi cepat untuk menangani area yang terdampak polutan, dan sekaligus menangani perusahaan yang terindikasi melakukan pencemaran lingkungan karena adanya pengelolaan air limbah yang tidak sempurna.
 
Aris mengatakan, pengadaan alat pemantauan dimaksud sangat mudah mengingat harganya yang hanya berkisar pada angka Rp1-2 juta  per unitnya. Kemudian, perangkat tersebut juga dapat dipasang pada saluran-saluran yang menuju ke sungai. 
 
Sebagai contoh untuk kawasan industri misalnya hanya diperlukan satu atau dua alat, tergantung saluran air yang mengarah langsung ke sungai. Jika alat tersebut berbunyi maka bisa dipastikan ada perusahaan di dalam kawasan industri tersebut yang melakukan pengolahan air limbah secara sembarangan. 
 
"Selanjutnya unit reaksi cepat segera mengatasi dan memberi teguran pada perusahaan yang," ujarnya. 
 
Perangkat pemantau memungkinkan dimiliki dan ditempatkan oleh Pemerintah langsung di kawasan industri dan titik-titik pemantauan.
 
Selain terkait pemantauan, Aris menyarankan agar kawasan industri di Indonesia mengoptimalkan pengolahan limbah air dalam kawasan, karena hal itu dapat meminimalisir kemungkinan masuknya air limbah belum diolah ke dalam aliran sungai.
 
"Saat ini kami (EMI) sedang melakukan skema kerja sama pengolahan limbah dengan Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP)," tambahnya.
 
Rencananya air limbah akan diolah hingga memenuhi kualitas air bersih dan dipergunakan kembali oleh industri yang ada di dalam kawasan JIEP.
 
Menanggapi hal itu, Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Edo Rakhman mengatakan, pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan hak penguasaan pengelolaan air bersih oleh perusahan swasta, menjadikan Negara bertanggungjawab penuh atas usaha penyediaan air bersih untuk masyarakat.
 
Namun menurut Edo, jika hal itu hendak diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tentu pemerintah tidak dapat membebankan seluruh tanggung jawab semata kepada BUMN.
 
"Akan baik jika BUMN mau menjadi pelopor, memberikan contoh yang baik kepada perusahaan mengenai bagaimana mengelola air limbah secara baik. Meskipun kemudian skema kerjasama dilakukan, namun itu tidak berarti BUMN bertanggung jawab atas limbah perusahaan, tanggung jawab pengelolaan limbah harus tetap berada di perusahaan (industri)," terang Edo.
 
Bagi WALHI, lanjut Edo, tidak masalah jika ada BUMN yang bersedia fokus pada kelestarian lingkungan, khususnya Sumber Daya Air.
 
"Meski begitu pengawasan tetap harus dilakukan, agar dalam persoalanan kelestarian air tetap kepentingan publik yang utama, bukan persoalan mencari keuntungan semata," tegasnya.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya