Istana Bantah Blok Masela Disetujui Onshore

Presiden Joko Widodo (kanan) dan Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi (kiri).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/

VIVA.co.id - Juru Bicara Presiden, Johan Budi Sapto Pribowo, membantah Presiden Joko Widodo sudah menyetujui pengembngan lapangan abadi blok Masela di Maluku, dengan skenario pembangunan kilang LNG di darat (onshore).

2024, Blok Masela Siap Produksi?
Sehari sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli, menyebut pemerintah sudah setuju onshore.
 
Pertamina Akan Kembangkan Ladang Minyak Raksasa Iran
"Sampai saat ini, Presiden Jokowi belum memutuskan metode pembangunan Blok Masela, apakah offshore (lepas pantai) atau onshore. Presiden masih mengkaji seluruh aspek proyek Masela," jelas Johan, saat dihubungi, Selasa 23 Februari 2016.
 
Proyek Blok Masela Diminta Dipercepat
Johan menjelaskan, kajian mendalam perlu dilakukan Jokowi, mengingat besarannya skala dan kompleksitas proyek gas blok Masela. 
 
"Keputusan harus dibuat dengan sangat berhati hati," lanjut Johan.
 
Johan menjelaskan, Presiden mempertimbangkan banyak aspek. Tak hanya dari sisi komersial dan teknis, tetapi juga aspek sosial, kultur, ekonomi, sampai dengan pengembangan kawasaan setempat.
 
Saat ini, kata Johan, Presiden sudah mendengar berbagai masukan. Termasuk, berbagai argumen dari banyak pihak, baik yang berpendapat membangun kilang di laut maupun membangun kilang di darat.
 
"Perhatian utama Presiden adalah bagaimana masyarakat Maluku Selatan dan Maluku keseluruhan memperoleh manfaat secara maksimal dari keberadaan proyek gas Masela tersebut. Tetapi, tentu juga memberi manfaat yaang maksimal bagi negara," jelasnya.
 
Sebelumnya, dalam siaran persnya, Rizal menyatakan, pemerintah Indonesia akan mengembangkan lapangan abadi blok Masela dengan skenario pembangunan kilang LNG di darat.
 
“Keputusan itu diambil, setelah dilakukan pembahasan secara menyeluruh dan hati-hati, dengan memperhatikan masukan dari banyak pihak. Pertimbangannya, pemerintah sangat memperhatikan multiplier effects, serta percepatan pembangunan ekonomi Maluku khususnya, dan Indonesia Timur pada umumnya,” ujar Rizal.
 
Berdasarkan kajian Kemenko Bidang Kemaritiman, biaya pembagunan onshore sekitar US$16 miliar. Sedangkan jika dibangun kilang apung di laut (offshore), biayanya mencapai US$22 miliar. 
 
Dengan demikian, kilang di darat yang sebesar US$6 miliar lebih murah dibandingkan dengan kilang di laut.
 
Angka ini berbeda dengan perkiraan biaya dari Inpex dan Shell. Mereka menyatakan, pembangunan kilang offshore hanya US$14,8 miliar. Sedangkan pembangunan kilang di darat, mencapai US$19,3 miliar.
 
“Inpex dan Shell telah membesar-besarkan biaya pembangunan kilang di darat. Sebaliknya, mereka justru mengecilkan biaya pembangunan di laut. Untuk memastikan kebenarannya, kami tantang mereka. Jika ternyata biaya pembangunan di laut membengkak melebihi $14,8 miliar, Inpex dan Shell harus bertanggung jawab membiayai kebihanannya, tidak boleh lagi dibebankan kepada cost recovery. Faktanya, Inpex tidak berani. Ini menunjukkan mereka sendiri tidak yakin dengan perkiraan biaya yang mereka buat,” papar Rizal. (asp)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya