Riset: 40 Persen Masyarakat Bawah Tak Mampu Beli Rumah

Ilustrasi pameran properti
Sumber :
  • Istimewa

VIVA.co.id – Saat ini hanya 20 persen rumah tangga kelas teratas yang mampu membeli rumah dari pasar formal. Sementara itu, 40 persen rumah tangga kelas menengah tidak dapat membeli rumah tanpa bantuan subsidi, dan 40 persen rumah tangga kelas bawah bahkan sama sekali tidak memiliki daya beli terhadap rumah.

Nelayan Mau dapat Rumah, Ini Syaratnya

Hal ini menunjukkan distribusi penyediaan perumahan di Indonesia yang masih belum merata, serta bagaimana persoalan perumahan belum menjadi prioritas bagi pemerintah pusat dan daerah.

“Anggaran pemerintah untuk sektor perumahan relatif kecil dibanding sektor prioritas lain. Hal ini menunjukkan bahwa sektor perumahan belum diprioritaskan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah,” kata Mahditia Paramita, direktur eksekutif Lembaga Housing Resource Center dalam acara Policy Corner yang diselenggarakan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, di Yogya, Senin 28 Maret 2016. 

Tahun Ini Pemerintah Bangun 112 Ribu Rumah

Menurut Mahditia, transformasi kebijakan perumahan di Indonesia selama enam generasi, yaitu pada masa pengenalan, masa pengembangan, masa stabil, masa transisi, masa revisi kebijakan I, serta masa revisi kebijakan II. Pembagian generasi ini, menurut dia, dibuat berdasarkan kriteria orientasi kebijakan, perubahan target kelompok, serta lingkup layanan perumahan oleh pemerintah.

Dalam masa pengenalan atau generasi pertama pada 1947-1966, prioritas utama terletak pada perencanaan fisik sebagai respons atas kebutuhan usai Perang Dunia II, yang banyak dipengaruhi oleh paradigma modernisasi dan pertumbuhan perkotaan.

Tabungan Perumahan Rakyat, untuk Siapa?

Sementara itu, masa pengembangan pada 1967-1977 diwarnai oleh krisis ekonomi yang membuat daya beli masyarakat merosot tajam, sehingga kebijakan perumahan dilakukan dengan sistem sentralisasi atau top-down.

Kemudian, dalam masa stabil pada 1978-1997, terdapat upaya akselerasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru secara bertahap, dengan pembentukan beberapa lembaga dan peraturan perundangan yang secara khusus menangani masalah perumahan.

Setelah Orde Baru, mulai terdapat perubahan dalam orientasi kebijakan pemerintah. Masa transisi pada 1998-2004 menjadi fase awal peralihan dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi, yang dilanjutkan pada masa revisi kebijakan I di mana pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu jilid 1 dan 2 melakukan optimalisasi peran pemda sebagai aktor kebijakan perumahan. Sementara itu, masa revisi kebijakan II pada tahun 2010 hingga sekarang lebih berorientasi pada sinergi dan pembangunan berkelanjutan.

Meski kapasitas pembangunan rumah masih belum dijalankan secara maksimal, Mahtidia mengapresiasi peningkatan perhatian pemerintah terhadap persoalan perumahan. ‘

Salah satu kebijakan pemerintah dalam dua periode terakhir yang diapresiasi adalah penanganan permukiman kumuh dan rumah tidak layak huni (RTLH). Khususnya melalui program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) terhadap masyarakat berpenghasilan rendah yang dalam pelaksanaannya melibatkan peranan penting pemerintah daerah dalam pengajuan usulan, verifikasi data RTLH dan lingkungan kumuh, pendampingan, serta pengawasan.

“Program BSPS menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan dengan dioptimalkannya konsep desentralisasi di bidang perumahan. Keterlibatan pemda serta masyarakat secara langsung dalam program ini dapat meningkatkan efektivitas dan transparansi pelaksanaan program,” tuturnya. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya