Ini Inkonsistensi UU LLAJ Soal Aturan Transportasi Umum

Ratusan supir taksi menggelar aksi demonstrasi menolak keberadaan angkutan umum online .
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Dua advokat, M Ridwan Thalib dan R Artha Wicaksana, yang menggugat Undang-undang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) terkait polemik transportasi online membeberkan  ketidakharmonian UU tersebut dalam mengatur soal transportasi umum.

Masyarakat Wajib Lapor Jika Angkutan Tak Turunkan Tarif
Dalam Pasal 138 Ayat 3 UU LLAJ diatur angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan kendaraan bermotor umum.
 
Respons KMP Rafelia II, Kemenhub Terbitkan 5 Aturan Baru
"Syarat mutlak suatu kendaraan untuk dapat diklasifikasikan sebagai kendaraan bermotor umum sesuai ketentuan Pasal 1 angka 10 UU No. 22/2009 adalah memungut bayaran," kata Ridwan, dikutip dari berkas gugatan ke MK yang diterima VIVA.co.id, di Jakarta, Selasa, 29 Maret 2016.
 
Organda: Seluruh Angkutan Umum Bakal Berfasilitas AC
Dia menjelaskan, Pasal 1 Angka 10 UU LLAJ berbunyi, 'kendaraan bermotor umum adalah setiap kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran'.
 
"Setiap kendaraan, definisi dari kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Terhadap definisi tersebut, becak maupun delman, masuk ke dalam jenis kendaraan tidak bermotor sesuai ketentuan Pasal 47 Ayat 1 dan 4 Jo. Pasal 1 Ayat 9 UU No. 22/2009," kata Ridwan.
 
Adapun, frasa 'dengan dipungut bayaran' menunjukkan sebuah kendaraan dalam melakukan proses pengangkutan orang dan/atau barang tersebut, baik delman maupun becak, memungut bayaran sebagai bentuk imbalan jasa.
 
"Apakah terdapat larangan jika kendaraan bermotor perseorangan tersebut digunakan melakukan pengangkutan orang dan/atau barang dengan memungut bayaran?" kata Ridwan.
 
Dia menilai, pada faktanya para pemilik kendaraan bermotor perseorangan tersebut dapat menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang kepada masyarakat, baik itu dengan cara sendiri atau mandiri (konvensional) maupun melalui perusahaan aplikasi online, yang semuanya memungut bayaran dari pengguna atau konsumen.
 
Persoalannya, adalah definisi 'angkutan umum orang dan/atau barang' tidak pernah dimaknai atau diinterpretasikan di dalam UU LLAJ. 
 
Frasa 'angkutan umum orang dan/atau barang' muncul pertama dan terakhir kalinya dalam rumusan UU tersebut, yaitu pada saat pengaturan terkait 'angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan kendaraan bermotor umum' yang terdapat pada Pasal 138 UU LLAJ.
 
"Tidak pernah diberikannya pemaknaan atau interpretasi 'angkutan umum orang dan/atau barang' dalam UU No. 22/2009, khususnya pada Pasal 138 Ayat 3 secara komprehensif, maka pemaknaan/interpretasi terhadap frasa 'angkutan umum orang dan/atau barang' tersebut menjadi ambigu, sehingga oleh dan karenanya dapat diberikan pemaknaan/interpretasi secara bebas oleh seluruh pihak/stakeholder terkait di bidang transportasi angkutan umum," ungkap Ridwan.
 
Ridwan mencontohkan, pemerintah dalam konteks ini Kementerian Perhubungan, secara implisit berpendapat penyediaan jasa 'angkutan umum' harus dan wajib dilaksanakan oleh 'perusahaan angkutan umum' sesuai Pasal 139 Ayat 4 UU LLAJ.
 
"Pasal 139 Ayat 4 UU No. 22/2009 menegaskan penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Ridwan.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya