Revisi APBNP 2016 Cerminan Kurang Krediblenya Pemerintah

Suasana rapat Komisi XI DPR.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Ismar Patrizki

VIVA.co.id – Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Wilgo Zainar menilai rencana pemerintah yang mengusulkan revisi APBNP 2016 sebagai cerminan kurang krediblenya pemerintah dalam mengelola anggaran.

DPR Setujui Pagu Indikatif Kemensos 2021 Sebesar Rp62,024 Triliun

Padahal, lanjut dia, hal tersebut dapat berdampak pada berkurangnya volume belanja negara.

"Saya kira ketidak cermatan pemerintah dalam menetapkan target penerimaan sehingga berdampak juga pada belanja yang expansive," kata politisi Gerindra ini, Selasa 16 Agustus 2016.

Demokrat: Jika RUU HIP Bertujuan Mulia, Enggak Mungkin Rakyat Bereaksi

Ia menuturkan, optimisme boleh-boleh saja namun tetap realistis terhadap realita kondisi perekonomian nasional, regional dan global yang masih melambat saat ini.

"Mungkin pemerintah berpikir, lanjut dia, dengan adanya tax amnesty dapat menambal kekurangan dalam APBNP 2016. Namun kenyataannya tax amnesty Rp165 triliun yang diharapkan menjadi tumpuan pendapatan negara kita untuk menopang APBNP 2016 ini belum mampu mendongkrak defisit APBNP. Faktanya, Menkeu saat ini memilih langkah lebih konservatif untuk mengurangi belanja yang belum prioritas ketimbang nanti penerimaan yang diharapkan tidak dapat tercapai sehingga memperlebar defisit kita yang memang dibatasi oleh UU tidak boleh lebih dari 3 persen," ujarnya.

Tidak Virtual DPR Rapat dengan Menhan Prabowo dan Panglima TNI

Memang tak dapat dipungkiri, katanya, tax amnesty sangat diharapkan keberhasilannya oleh pemerintah dan DPR.

"Namun demikian kita akan lihat progres pada priode I ini, bila tidak mencapai 40 persen maka tentunya target Rp165 triliun ini rasanya berat tercapai karena periodenisasi tahap I adalah pijakan awal dengan rate tebusan terendah baik repatriasi maupun deklarasi," katanya.

Selain itu, lanjutnya, perlunya pemerintah meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya dalam mensukseskan program tax amnesty guna membantu defisit APBN saat ini.

"Saya kira kesiapan aparatur pajak khususnya dalam memahami tax amnesty ini harus linier dengan UU dan kebijakan pemerintah pusat melalaui Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kalau tidak demikian, akan ada keraguan WP untuk ikut program TA ini," katanya.

Masalahnya saat ini, terang dia, implementasi program tax amnesty masih membuat masyarakat belum memahami secara utuh.

"Contoh soal BUPER (Bukti Permulaan) yang dikeluarkan beberapa Kantor Pelayan Pajak di daerah kepada WP pasca diundangkan TA ini cukup membingungkan disaat mereka akan melakukan TA namun terkendala oleh hal ini. Sedangkan edaran DJP mengatkan tidak ada law enforcement pada fase TA ini. Mungkin ini salah satu yang harus ditegaskan kembali mana yang sebenarnya pada WP dan publik," ujarnya.

Menurutnya, ada beberapa kemungkinan yang akan dilakukan pemerintah jika program tax amnesty yang awalnya ditujukan untuk menutup short fall APBN tidak tercapai.

"Bisa dua kemungkinan yakni menambah hutang LN dan atau menerbitkan obligasi pemerintah di dalam negeri. Atau kembali memotong anggaran lagi. Ini semua dilematis," ujarnya.

Yang jelas, sambungnya, usulan revisi tersebut mengingatkan bahwa perekonomian negara dalam taraf mengkhawatirkan.

"Perekonomian kita masih relatif berat tampak dari angka pengangguran, kemiskinan yang meningkat dan masih tinggi. Bukti nyata penerimaan pajak sejak 2015 sampai dengan saat ini selalu shortfall. Kita berharap target TA bisa tercapai minimal 70 persen sudah cukup bagus membantu APBN kita yang dalam kondisi berat ini," katanya.  (webtorial)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya