Petani Kecewa Pemerintah Buka Keran Impor Garam

Petani garam rakyat di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan
Sumber :
  • VIVA.co.id/Yasir

VIVA.co.id – Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut saat ini telah membuka keran impor garam hingga April 2017 mendatang. Hal itu pun membuat petani garam rakyat di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan merasa kecewa.

Ratusan Hektare Sawah di Bombana Sultra Gagal Panen akibat Banjir, Pemkab Minta Bantuan Pusat

Salah satu petani garam rakyat, Daeng Sangkala (32), mengungkapkan, produksi garam di Kabupaten Jeneponto saat ini, sedang terhenti akibat cuaca buruk. Hal itu membuat kerugian besar di kalangan petani.

Pada kondisi tersebut, Sangkala mengaku kecewa lantaran pemerintah akan melakukan impor garam. Menurutnya, setelah diterpa kerugian akibat gagal panen, adanya impor garam dipastikan akan memengaruhi harga jual garam lokal.

Polemik Hulu Migas di Area Persawahan Perlu Diselesaikan, Petani Harus Dapat Ganti Untung

"Kita seperti sudah jatuh, tertimpa tangga yang mengenai kepala. Kita sudah gagal panen, tidak produksi selama empat bulan, pemerintah mau lagi impor garam," keluh Sangkala saat ditemui di Kelurahan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Kamis 12 Januari 2017.

Ia menjelaskan, akibat hujan yang datang lebih awal, petani sudah tidak bertani sejak September 2016 lalu. Ia mengatakan, ribuan ton garam terpaksa gagal panen akibat hujan.

Petani di Semarang Dukung Sudaryono Jadi Gubernur Jateng, Alasannya Selaras Program Pemerintah Pusat

"Puncaknya itu bulan sembilan (September) kita bisa panen 600 kilogram per hari pada satu lahan pegaraman. Tapi ternyata hujan datang lebih awal, jadi semuanya gagal panen," jelasnya.

Menurutnya, jika pemerintah mengimpor garam, akan berdampak pada turunnya harga jual garam lokal. Ia pun berharap, pemerintah tidak melakukan impor agar mampu menstabilkan harga jual garam lokal.

"Itu (impor garam) yang bikin merosot harga garam," ucap pria dengan tiga anak itu.

Sementara itu, pakar ekonomi Universitas Negeri Makassar, Chalid Imran Musa mengatakan, lahan pegaraman di Jeneponto masih terbilang kecil, meskipun menjadi nomor dua terbesar di Indonesia, setelah Madura. Apalagi hasil produksi dan kualitas garam tidak sebanding dengan biaya produksi.

"Itu yang tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi petani garam lokal. Selisih modal dan keuntungan tidak jauh," kata Ketua Program Doktoral Pendidikan Ekonomi Pascasarjana UNM itu.

"Intinya garam rakyat kalah saing karena kualitasnya jauh beda dengan yang impor, harusnya (pemerintah) memberi stimulus untuk peningkatan kualitas garam lokal," ujarnya.

Menurutnya, secara metode pengolahan garam di Indonesia belum kolektif. Sehingga, kualitas garam dalam negeri tidak dapat terkontrol secara merata.

"Petani garam di Indonesia memiliki spesifikasi kualitas yang berbeda-beda, namun masih di bawah kualitas garam impor," ucapnya.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut mencatat, produksi garam pada 2016, hanya sekitar 144 ribu ton, sedangkan kebutuhan tahun ini mencapai 1,4 juta ton. Sehingga, untuk penuhi kebutuhan 2017, pemerintah akan tetap buka keran impor garam hingga April 2017 mendatang. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya