Grab, Uber dan GoJek Minta Waktu Taati Peraturan Menhub

Managing Director Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Raudhatul Zannah

VIVA.co.id – Tiga operator layanan pesan kendaraan berbasis daring atau online, yaitu Grab, Uber dan GoJek, mengeluarkan pernyataan bersama. Mereka mengajukan keberatan terhadap aturan Kementerian Perhubungan mengenai layanan sewa mobil dan taksi berbasis pesan online.

Organda: Tak Seharusnya Perusahaan IT Bicara Transportasi

Seperti diketahui, aturan transportasi online tertuang dalam revisi Peraturan Menteri Perhubungan No 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek. 

Ada empat poin permintaan dan keberatan yang diajukan ketiga layanan transportasi online itu. Mereka meminta kepada pemerintah tenggat waktu sebelum “Permen 32” diterbitkan.

Menhub Akui Tarif Taksi Resmi Juga Turun di Aturan Baru

"Kami meminta penundaan, untuk pemerintah melihat secara bijak, apa impilikasi terhadap peraturan tersebut," ujar Managing Director Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata, dalam keterangan tertulis yang diterima VIVA.co.id, Sabtu 18 Maret 2017

Ridzki menyatakan, atas nama ketiga layanan, Grab, Uber dan GoJek, permintaan waktu tenggat selama sembilan bulan dari waktu Permen 32 diterbitkan. Peraturan itu sendiri akan diterbitkan akhir April 2017.

1 April 2017, Tarif Taksi Online Tak Lagi Murah

Antrean Khusus

Empat poin permintaan dan keberatan terhadap aturan PM 32, yakni soal peraturan tanda uji berkala kendaraan bermotor (KIR) dengan pemberian pelat berembos. Mereka meminta 'keistimewaan' saat pengurusan, seperti antrean khusus.

Mereka juga inginkan fasilitas uji KIR bekerjasama dengan Agen Pemegang Merek (APM) atau pihak swasta, untuk membantu beban keuangan mitra pengemudi. Kemudian, mereka keberatan dengan aturan pembatasan biaya perjalanan. Ini berdampak pada konsumen, yang berharap transportasi dengan harga terjangkau.

Lalu soal pembatasan kuota kendaraan. Menurut ketiga layanan itu, kebijakan ini tidak sejalan dengan ekonomi kerakyatan dan membatasi pilihan masyarakat akan transportasi.

Terakhir, kewajiban kendaraan wajib terdaftar atas nama badan hukum atau koperasi. Ini merugikan pemilik kendaraan dan tidak diatur dalam Undang-Undang. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya