Warisan Besar Menlu Hassan Wirajuda

VIVAnews - Sudah lebih dari delapan tahun Dr. Nur Hassan Wirajuda menjabat sebagai menteri luar negeri (Menlu). Bagi Wirajuda, satu windu sudah cukup bagi dirinya untuk menduduki jabatan penting itu, yang segera ditempati oleh penggantinya, Marty Natalegawa.

Tas Istri Dicuri Hingga Barang Berharga Raib, Pasha Ungu Beberkan Hal Ini

"Saya percaya bahwa posisi apapun yang saya emban pasti ada terminalnya, ada ujungnya," kata Wirajuda.  

Di balik penampilannya yang sangat kalem dan low profile, Wirajuda telah memberi pencapaian yang signifikan dalam memimpin para diplomat melaksanakan politik luar negeri Indonesia. "Saat kemampuan finansial dan kapabilitas militer kita terbatas, maka yang harus kita andalkan saat ini adalah kekuatan diplomasi," demikian tutur Wirajuda suatu ketika. 

Saat berbicara di berbagai forum, menteri kelahiran Tangerang, 9 Juli 1948, sering menonjolkan konsep "diplomasi total." Pendekatan diplomasi ini memandang setiap isu secara komprehensif dan melibatkan seluruh komponen bangsa.

Bagi Wirajuda, sudah bukan zamannya lagi para diplomat kini hanya duduk di belakang meja. Maka, para diplomat yang dia pimpin harus bisa mendekatkan jarak antara apa yang terjadi di luar negeri dengan apa yang menjadi aspirasi dan kepentingan domestik. Inilah yang Wirajuda sebut sebagai faktor intermestik.

Pendekatan Diplomasi Total dan Faktor Intermestik itu menjadi pijakan bagi Wirajuda dalam melakukan sejumlah perubahan besar selama lebih dari delapan tahun menjadi menteri luar negeri Indonesia. 

1. Reformasi di Tubuh Deplu
Walau terkesan berhati-hati, Wirajuda pun berani melakukan perubahan internal dalam struktur Departemen Luar Negeri yang dia pimpin. Saat kali pertama ditunjuk sebagai menteri luar negeri oleh presiden saat itu, Megawati Soekarnoputri, pada 2001, Wirajuda menyadari Deplu perlu pembenahan organisasi.

"Pembenahan internal di tubuh Deplu memacu para diplomat karir untuk menunjukkan kinerja mereka secara lebih efektif dan efisien. Marty Natalegawa [menteri luar negeri baru] merupakan salah satu contohnya," tutur Rizal Sukma, pengamat politik luar negeri Indonesia dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta.

Maka, setelah melalui pengkajian selama empat tahun, melalui Peraturan Menteri Luar Negeri 19 Agustus 2005, Wirajuda berani melakukan perombakan struktur Deplu. Dulu, struktur Deplu berdasarkan pendekatan fungsional (politik, ekonomi, budaya), kini diubah menjadi pendekatan kewilayahan (dibagi per kawasan - mulai dari ASEAN, Asia-Pasifik, Afrika, Amerika dan Eropa, Timur Tengah, Multilateral, dll).

Struktur baru yang diadopsi dari jajaran kementrian luar negeri Jepang dan Australia ini menunjukkan bahwa para diplomat kini tidak sekadar menguasai satu fungsi saja - apakah itu hanya ekonomi, politik, atau keamanan - namun juga harus memahami semua bidang saat banyak kawasan mulai mengambil peran penting dalam tatanan global.  

2. Menghidupkan Kembali Juru Bicara
Ini merupakan salah satu terobosan yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Setelah sekian lama vakum, pada akhir 2001 Departemen Luar Negeri menghidupkan kembali posisi Juru Bicara.

Namun, juru bicara yang dihidupkan kali ini tampak berbeda karena tidak sekadar menyampaikan program yang dijalankan Deplu, melainkan juga harus mengantisipasi isu-isu internasional yang mendapat perhatian besar media massa.

Berbeda dengan masa sebelumnya ketika Juru Bicara diletakkan dalam struktur yang jauh jaraknya dari pimpinan, maka dalam struktur Deplu yang baru, Juru Bicara dirangkap oleh Kepala Biro Administrasi Menteri, yang sehari-hari terus mengikuti aktifitas dan pertemuan-pertemuan Menlu.

Jangan Kaget dengan Spesifikasi Mobil Gagah AHY Seharga Rp1,1 Miliar

"Dengan demikian, Juru Bicara mengerti betul latar belakang dan dasar pemikiran dari setiap isu yang muncul. Juru Bicara Deplu punya kredibilitas yang tinggi dan mampu bereaksi dengan kecepatan yang tinggi pula," kata Wirajuda suatu ketika.

Marty Natalegawa

Terkuak, Alasan Satu Polisi yang Ditangkap Terkait Narkoba di Depok Dibebaskan

Marty Natalegawa, mantan Juru Bicara Deplu yang kini menjadi menteri luar negeri Indonesia (AP Photo)

Bagi kalangan pengamat dan media massa, posisi Juru Bicara ternyata membuat Deplu mendapat perhatian yang besar dari kalangan publik dan media massa internasional. "Dari sekian institusi pemerintah, Departemen Luar Negeri memiliki Juru Bicara yang bekerja dengan efektif dan menempatkan Deplu berada pada posisi yang strategis dalam menyuarakan sikap pemerintah atas suatu isu," kata Dinna Wisnu, pengamat diplomasi dari Universitas Paramadina, Jakarta.

Selain melayani pertanyaan para wartawan melalui telepon, Juru Bicara Deplu rutin menggelar jumpa pers mingguan. Peran ini dijalankan dengan baik oleh Juru Bicara pertama Deplu, Marty Natalegawa, selama tiga tahun sebelum akhirnya mendapat tanggung jawab besar sebagai Dirjen Kerjasama ASEAN, Duta Besar RI untuk Inggris dan PBB dan kini menjadi menteri luar negeri baru.
 
3. Membentuk Diplomasi Publik
Posisi ini termasuk daru reformasi internal yang dijalankan Wirajuda di tubuh Deplu. Sesuai dengan pendekatan "Diplomasi Total" dan konsep "Intermestik" yang dia terapkan, Wirajuda menilai bahwa bukan zamannya lagi Deplu hanya mengikuti pendekatan government-to-government. "Berbeda dari upaya diplomasi konvensional yang berhadapan dengan pemerintah negara lain, maka diplomasi publik harus berhadapan dengan aktor-aktor non-pemerintah atau publik, baik di negeri sendiri maupun di negara lain," kata Wirajuda. 

Maka, dalam struktur baru Deplu, dibentuklah Direktorat Diplomasi Publik. "Saya merasakan bahwa direktorat ini membuat Deplu menjadi lebih leluasa untuk menjangkau aktor-aktor non-pemerintah atau masyarakat yang memiliki pengaruh luas dalam memberi opini publik. Keberadaan mereka menjadi kian penting dalam percaturan global saat ini," kata Umar Hadi, mantan Direktur Diplomasi Publik yang kini menjadi Wakil Duta Besar Indonesia untuk Belanda.

Pada intinya, menurut Hadi, diplomasi publik mendekatkan diri dengan berbagai elemen masyarakat, mulai dari pelajar, cendekiawan, pekerja media, hingga kaum ulama.

Itulah sebabnya Direktorat Diplomasi Publik secara berkala menyelenggarakan annual lectures (kuliah tahunan) mengenang tokoh-tokoh diplomasi di berbagai universitas. Selain itu, Deplu juga menyelenggarakan program Duta Belia yang memperkenalkan dunia diplomasi kepada para pelajar berprestasi.

Melalui Direktorat Diplomasi Publik, Deplu juga melakukan kolaborasi dengan berbagai organisasi masyarakat seperti dengan Nahdlatul Ulama dalam "International Conference of Islamic Scholars" dan dengan Muhammadiyah dalam "World Peace Forum." Dengan media massa, Deplu setiap tahun menyelenggarakan ’Global Intermedia Dialogue’.


4. Penegakkan HAM dan Perlindungan WNI
Menyesuaikan reformasi politik dan pemerintahan, Deplu di bawah Hassan Wirajuda pun memasukkan elemen penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam struktur baru. Dengan memiliki Direktorat HAM di tubuh Deplu, pemerintah memiliki instrumen khusus untuk menjelaskan kepada masyarakat internasional mengenai penegakan HAM di dalam negeri, yang selama ini menjadi titik sorot masyarakat internasional (terutama dari negara-negara Barat) setiap kali memandang Indonesia.

Sebelumnya, Indonesia selalu dicecar oleh negara-negara Barat, baik dari tingkat pemerintah, pers, dan lembaga swadaya masyarakat atas lemahnya penegakan HAM di negeri ini, padahal informasi yang mereka dapatkan tidak selalu akurat dan bahkan kadaluarsa. "Hassan Wirajuda membentuk sebuah instrumen yang menjadi PR (public relation) dan kampanye kepada dunia bahwa Indonesia tengah mengalami perubahan dan terus memperbaiki penegakan HAM," kata Rizal Sukma, Direktur Eksekutif CSIS. 

Selain itu, Deplu di bawah Wirajuda juga serius memperhatikan nasib para warga negara Indonesia yang menjadi pekerja migran di luar negeri. Sebagian besar dari mereka adalah para buruh rendahan yang menjadi korban eksploitasi dan kesewenang-wenangan di tempat mereka bekerja.

Maka, dibentuklah Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia di tubuh Deplu. Selain itu, sejak 2007, Deplu berinisiatif mendirikan fasilitas "Citizen Service" di sejumlah perwakilan di luar negeri di mana banyak warga Indonesia berdomisili. Fasilitas ini terbukti mempersingkat layanan konsuler dan administrasi seperti perpanjangan buku paspor kepada warga negara Indonesia di luar negeri.

"Selain itu, citizen service juga memberi layanan konseling dan bantuan hukum kepada para pekerja migran," kata Wardhana, Duta Besar Indonesia di Singapura. Bersama Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di Malaysia, KBRI Singapura menjadi proyek percontohan Citizen Service, yang terbukti mendapat sambutan hangat dari para warga Indonesia.  


5. Menghadirkan Kembali Wakil Menteri Luar Negeri

Dalam lebih dari lima puluh tahun terakhir, baru kali ini Departemen Luar Negeri menghadirkan kembali posisi wakil menteri. Di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, Departemen Luar Negeri pernah memiliki pejabat wakil menteri, namun tidak bertahan lama karena pada saat itu jabatan tersebut tidak begitu penting. Namun saat peran diplomasi Indonesia di panggung internasional kini semakin intensif, Wirajuda menilai bahwa jabatan wakil menteri luar negeri perlu dihidupkan kembali.

Sejak September 2008, wakil Menlu dijabat oleh Triyono Wibowo, mantan duta besar Indonesia untuk Austria dan Slovenia. Sesuai Peraturan Presiden No. 20 dan 21 tahun 2008, sebagai pejabat eselon satu plus, wakil menteri luar negeri harus membantu menterinya mengelola departemen. Wakil Menlu juga harus mengimplementasikan program-program Departemen Luar Negeri bersama dengan para pejabat eselon satu.

Wakil Menlu Triyono Wibowo

Wakil Menteri Luar Negeri Triyono Wibowo (VIVAnews/Harriska Adiati)

Triyono juga harus mewakili menteri luar negeri dalam sidang kabinet maupun pertemuan berskala internasional apabila menteri berhalangan hadir, untuk memastikan misi diplomatik Indonesia tetap sesuai dengan sasaran. Namun, tugas wakil menteri luar negeri masih sangat umum sehingga perlu koordinasi lebih lanjut bersama posisi-posisi puncak yang telah ada, yaitu Sekretaris Jenderal dan Inspektur Jenderal, agar tidak tumpang tindih.


6. Perempuan Diplomat Terus Bertambah
Deplu di bawah Wirajuda rupanya serius dalam menegakkan kesetaraan jender. Diplomasi bukan lagi hanya urusan laki-laki.

Pribadi Sutiono, staf Badan Administrasi Menteri yang juga Wakil Direktur Diplomasi Publik, mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, 50% dari keseluruhan pelamar DEPLU yang diterima adalah perempuan.

Retno L.P. Marsudi

Retno Marsudi, Dirjen Amerika dan Eropa Deplu (VIVAnews/Renne Kawilarang)

"Departemen Luar Negeri boleh berbangga bahwa hampir 30% pejabat Eselon 1 sekarang ini adalah perempuan. Pada waktu mendatang pasti akan lebih banyak lagi karena dalam lima tahun terakhir, rata-rata 50% dari perekrutan calon diplomat setiap tahunnya adalah perempuan," kata Sutiono.
 
Dalam 20 tahun mendatang, Deplu menargetkan bahwa separuh dari para Duta Besar Indonesia adalah perempuan. Dalam tubuh Deplu sendiri, sudah ada perempuan diplomat yang kini menduduki jabatan strategis. Dia adalah Retno Marsudi, Direktur Jenderal Amerika dan Eropa. 


7. Membangun Citra Indonesia Sebagai Kekuatan Demokrasi
Bagi Direktur Eksekutif CSIS, Rizal Sukma, pendekatan diplomasi yang dibangun Wirajuda bersama tim Deplu dalam delapan tahun terakhir mampu memulihkan citra Indonesia, yang hancur lebur diterpa krisis multi-dimensi, di panggung internasional.

"Sepuluh tahun lalu, dunia memandang Indonesia dengan prihatin. Sudah diterpa krisis moneter Asia, Indonesia saat itu juga direpotkan dengan konflik horisontal, politik yang belum stabil dan terakhir terorisme. Namun, diplomasi yang dibangun Deplu membuat banyak negara kini mengakui bahwa Indonesia sudah berubah menjadi negara yang demokratis dan stabil," kata Sukma.

Pengakuan dunia itu salah satunya terlontar dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton. "Bila ingin melihat keharmonisan antara Demokrasi dan Islam, lihatlah Indonesia," kata Clinton sambil disaksikan Wirajuda saat memberi pernyataan pers di Pejambon, Jakarta, 18 Februari 2009.  

Kepercayaan dunia kepada Indonesia dalam menggelar sejumlah pertemuan global - seperti Konfrensi PBB Atas Perubahan Iklim di Bali Desember 2007 - juga tak lepas dari pendekatan diplomasi Deplu.

Selain itu, berkat peran Wirajuda, Indonesia pada akhir 2008 menggelar forum baru di tingkat internasional, yaitu Bali Democracy Forum (BDF). Forum ini merupakan prakarsa Indonesia yang bertujuan untuk mempromosikan kerjasama regional dalam isu demokrasi dan pembangunan politik di antara negara-negara di kawasan Asia.

Forum ini tidak bersifat eksklusif antar negara demokratis, tetapi lebih merupakan forum inklusif bagi negara-negara di kawasan untuk berbagi pengalaman dan pelatihan terbaik dalam memperkuat demokrasi. Ini merupakan forum yang unik, karena diikuti negara-negara yang selama ini kurang dikenal dalam mengembangkan demokrasi dan menawarkan konsep demokrasi yang berbeda dengan yang selama ini dipromosikan oleh negara-negara Barat.

Bali Democracy Forum ingin menunjukkan sebagai forum yang setara (equal), siapa saja memiliki posisi yang sama, tidak ada dalam forum ini satu negara mendiktekan model demokrasi untuk dianut oleh negara yang lain.

8. Membangkitkan Kembali Pengaruh Indonesia di ASEAN

Setelah terpuruk akibat krisis multidimensi, pengaruh Indonesia di Perhimpunan Negara Asia Tenggara (ASEAN) sempat redup. Namun, secara perlahan Wirajuda dan tim Deplu mencoba memulihkan kembali pengaruh Indonesia di ASEAN.

Salah satu pengaruh yang berhasil dibangun Indonesia melalui Deplu di tingkat ASEAN adalah disetujuinya pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community/ASC). Gagasan awal untuk membentuk Komunitas Keamanan ASEAN (ASC) itu diusulkan delegasi Indonesia dalam pertemuan tingkat Menlu ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, 16-19 Juni 2003.

ASC ini merupakan salah satu dari tiga pilar yang disetujui ASEAN selain bidang Ekonomi dan Sosial-Budaya. Wirajuda menilai bahwa sebelumnya kerja sama antar anggota ASEAN lebih ditekankan pada sektor ekonomi, sehingga Indonesia melihat perlu lebih diseimbangkan dengan peningkatan pada kerjasama politik dan keamanan. Namun, ASC lebih diarahkan sebagai forum koordinasi dan dialog bukan sebagai organisasi pakta pertahanan.  

Gagasan ini ternyata mendapat sambutan positif dari sesama anggota ASEAN. Maka, kini telah disepakati untuk mewujudkan ASC bersama dengan pilar-pilar kerjasama ASEAN lain pada tahun 2015. Format lebih lanjut pembentukan ASC terus dikembangkan dalam pertemuan-pertemuan tahunan ASEAN.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya