Indef: Tambahan Utang Luar Negeri RI Tak Buat Ekonomi Tumbuh

Ilustrasi peningkatan utang luar negeri Indonesia.
Sumber :
  • Halomoney

VIVA – Peneliti Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Rizal Taufikurahman menegaskan, utang luar negeri pemerintah yang terus meningkat sejak tiga tahun terakhir tidak memberikan kontribusi nyata terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Utang Luar Negeri RI Februari 2024 Naik Jadi US$407,3 MIliar, Ini Penyebabnya

Sebab, utang luar negeri (ULN) yang dikatakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan belanja pada sektor infrastruktur yang telah dikerjakan pada 2013 hingga kini, belum dirasakan manfaatnya.

Hal itu dia buktikan dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya bisa tumbuh single digit atau hanya 5,19 persen, sedangkan pertumbuhan utang mencapai double digit atau 10,1 persen.

Utang Luar Negeri RI Naik 2,7 Persen, Ini Sederet Pemicunya

"Saya coba kaji empat tahun, nampaknya kita akan terperangah melihat hasilnya, meski kita menggunakan data BPS. Jadi, dampak kebijakan infrastruktur terhadap sektor produktivitas seperti industri, pertanian, dan perdagangan, yang menguasai 68 persen tenaga kerja nasional hanya tumbuh di bawah lima persen," katanya di kantor Indef, Jakarta, Rabu 21 Maret 2018.

Presiden Jokowi saat memantau pembangunan jalan nasional Trans Papua.

Utang Luar Negeri RI Naik Lagi, Tembus Rp 6.237 triliun

Presiden Jokowi saat memantau pembangunan jalan trans Papua.

Bahkan, kata Rizal, berdasarkan temuannya itu, ULN yang ditujukan untuk percepatan infrastruktur dampaknya bagi sektor-sektor yang bersinggungan langsung, seperti angkutan darat, laut, dan udara produktivitasnya dalam menyerap tenaga kerja cenderung negatif sejak 2013-2018, hanya di kisaran minus 0,1-0,5 persen.

"Temuan kami adalah dampak kebijakan infrastruktur di sektor angkutan darat, laut, dan udara, kita lakukan guncangan malah produktivitasnya tidak bergeming dan cenderung menurun. Dari 2013 hingga sekarang, cenderung negatif," paparnya.

Maka dari itu, kata dia, pemanfaatan utang luar negeri pada infrastruktur perlu dikaji kembali, agar alokasi dana tersebut bisa benar-benar dirasakan manfaatnya, meski untuk jangka waktu panjang.

Jika tidak, lanjut dia, maka Indonesia bisa menjadi "bad story" sebagaimana negara-negara lainnya seperti Angola, Zimbabwe, Nigeria, Pakistan, dan Sri Lanka.

"Mereka membangun proyek infrastrukturnya lewat utang, akhirnya mereka tidak bisa bayar utang. Banyak beberapa negara, di antaranya Angola mengganti nilai mata uangnya. Zimbabwe juga," tegasnya.

Di ketahui, Zimbabwe terpaksa mengganti mata uangnya menjadi yuan, setelah tidak bisa membayar utang kepada China sebesar US$40 juta untuk pembiayaan infrastruktur.

Begitu juga dengan Nigeria yang harus membiarkan China untuk mengalirkan bahan baku untuk bahan infrastrukturnya dan buruh kasar asal China, untuk pembangunan infrastrukturnya di negara tersebut.

Selain itu, Sri Lanka karena tidak mampu membayar utang, akhirnya pemerintah Sri Langka melepas Pelabuhan Hambatota sebesar US$1,1 triliun atau sebesar 70 persen sahamnya di jual kepada BUMN China. Begitu juga dengan Pakistan, yang harus melepaskan Gwadar Port kepada China dengan nilai investasi mencapai US$46 miliar.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya