Indef: Fasilitas LCS BI Belum Mempan Tahan Pelemahan Rupiah

Dolar AS dan rupiah.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Bhima Yudhistira menilai, strategi Bank Indonesia menghadapi nilai tukar rupiah melalui pendorongan penggunaan mata uang lokal atau Local Currency Settlement/LCS kepada pelaku usaha eksportir maupun importir, tidak memiliki dampak besar untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Bank Indonesia Naikkan BI Rate Jadi 6,25 Persen Demi Stabilkan Rupiah

Dia mengatakan, hal itu disebabkan karena masih dominannya penggunaan mata uang dolar oleh pelaku usaha dalam melakukan transaksi ekspor-impornya, yang mencapai 90 persen secara global.

"Sekarang masih kecil banget, karena ekspor impor itu sebagian besar masih pegang dolar," ujarnya saat dihubungi VIVA, Selasa 24 April 2018.

Hasil Uji Ketahanan OJK: Perbankan Masih Bisa Mitigasi Pelemahan Rupiah

Dia menduga, hal yang menyebabkan pelaku usaha belum mau menggunakan mata uang lokal dalam fasilitas LCS yang telah disediakan Bank Indonesia, karena minimnya likuiditas mata uang asing yang disediakan bank selain dolar AS.

"Sekarang, kalau mau ekspor-impor misalkan pakai yuan, tetapi likuiditasnya enggak ada jadi permintaan penawaran yuan itu pasokannya di bank domestik itu enggak mencukupi. Akhirnya, eksportir juga malas melakukan transaksi pakai mata uang melalui LCS tadi, misalkan kalau transaksi ekspor impor," ucapnya.

Rupiah Amblas ke Rp 16.270 per Dolar AS Pagi Ini

sorot non tunai - uang rupiah - uang pecahan - pecah - uang kertas

Dia juga meyakini, dengan adanya fasilitas LCS tersebut juga pada dasarnya akan sulit mendorong pelaku usaha ekspor-impor menggunakan mata uang lokal dalam melakukan transaksi perdagangan luar negerinya, sebab transaksi mereka tidak hanya ke satu negara, sehingga penggunaan dolar dianggap lebih efisien.

"Kalau saya sih, melihatnya agak susah ya. Sekarang eksportir itu lebih memilih, ya sudah pegang dolar karena tujuan ekspornya enggak hanya ke China misalkan, enggak hanya ke Thailand, dia bisa lempar ke Australia. Ambil bahan baku dari negara Nigeria misalkan, itu yang agak sulit," tegasnya.

Karenanya, dia menganggap, adanya fasilitas LCS atau pun bilateral currency swap cenderung hanya memiliki dampak jangka panjang. Dalam artian, tidak bisa di jadikan instrumen jangka pendek untuk menghadapi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar.

"Sekarang yang paling penting menyediakan dulu pasokannya. Kalau mau ringgit misalnya, harus ada di bank-bank. Kalau mau yuan, ya harus availabel jika suatu saat ekspor atau impor, apalagi kalau nilainya sampai jutaan dolar, itu kan harus likuiditasnya ada. Kalau likuiditasnya enggak ada, ya percuma aja," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya