Bisnis Fintech Sulit Tumbuh di RI, Ini Sebabnya

Ilustrasi fintech.
Sumber :
  • Fintech News Switzerland/Pixabay

VIVA – Industri keuangan berbasis digital atau fintech (financial technology) sebenarnya kian digandrungi di Tanah Air. Produk layanan keuangan yang ditawarkan pun beragam, mulai dari pinjaman hingga sistem pembayaran kredit.

Revisi UU ITE Disahkan, Privy Siap Amankan Transaksi Keuangan Digital

Namun, di tengah mulai menjamurnya perusahaan-perusahaan fintech tersebut, belum semua memiliki izin dari regulator terkait. Dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia.

Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia, M. Ajisatria Sulaeman, mengatakan dalam perjalanan industri fintech di Indonesia, baru 30 anggota asosiasi yang dalam proses mendaftarkan usahanya di BI.

Inovasi untuk Menciptakan Produk yang Sesuai Kebutuhan

"Peraturan di BI sendiri cukup banyak, tak hanya tekfin dan regulatory sandbox, tetapi payment gateway, uang elektronik, dompet elektronik, dan transfer dana," kata Ajisatria dalam keterangan tertulisnya, Kamis 26 April 2018.

Ilustrasi fintech.

Kiat Bijak Memilih Layanan Pinjaman Fintech: Produktif atau Konsumtif?

Pendaftaran fintech sendiri, lanjut dia terbagi dua. Untuk fintech berbasis pinjam meminjam atau Peer to Peer Lending (P2PL) berada di bawah pengurusan OJK. Sedangkan yang di bawah pengawasan BI adalah terkait sistem pembayaran.

Aji mengungkapkan, pengurusan perizinan bukan tanpa batu sandungan. Banyak kendala dihadapi perusahaan fintech saat hendak mengurus pendaftaran, salah satunya mekanisme PRE audit, di mana seluruh dokumen dan sistem harus sudah siap sebelum memohon izin.

Sementara, untuk pendaftaran di OJK lebih mudah dibanding BI, sebab untuk mendaftar dan beroperasi dengan dokumen-dokumen awal diperbolehkan, lalu diberikan waktu satu tahun untuk melengkapi dokumen SOP, memperbaiki sistem, dan merampungkan audit.

Buat Satgas Khusus

Sedangkan, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakaan saat ini baru segelintir perusahaan fintech yang telah terdaftar.

"Jadi ada 44 yang terdaftar di OJK kalau enggak salah tapi kan dari segi jumlah fintech lebih dari 180 perusahaan. Artinya, belum ada setengahnya yang terdaftar ke dalam OJK," kata Bhima.

Ia mengungkapkan, para pelaku industri fintech kebanyakan mengeluhkan soal rumitnya birokrasi. Salah satunya dalam hal rumitnya proses pendaftaran yang bila dilakukan memakan waktu dan makan biaya.

Untuk itu Bhima menuturkan, akan lebih baik jika BI bersama OJK membentuk satgas khusus untuk mengurus pendaftaran fintech.

"Harusnya memang dibentuk single window policy atau perizinan terpadu satu pintu, jadi antara BI dan OJK membentuk satgas khusus fintech. Jadi daftar satu pintu. Di Thailand seperti itu, kemudian di Australia seperti itu juga. Makanya perkembangan fintech di sana cukup pesat karena perizinannnya hanya dalam satu pintu tadi," ujarnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya