BI Sebut Perang Dagang Masih Jadi Risiko Nilai Tukar pada 2019

Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dolar AS di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA – Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo menegaskan, risiko tekanan terhadap nilai tukar rupiah hingga 2019 akan masih tergantung pada gejolak perekonomian global, khususnya perang perdagangan yang terjadi diantara negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dengan China.

Hasil Uji Ketahanan OJK: Perbankan Masih Bisa Mitigasi Pelemahan Rupiah

"Ini yang masih terus kita lihat sebagai risiko yang kita katakan belum berakhir dan itu punya potensi untuk melemahkan mata uang di emerging," katanya di Jakarta, Jumat 14 September 2017.

Dia mengungkapkan, dampak dari risiko perang perdagangan internasional merupakan yang paling sulit untuk diantisipasi oleh pemerintah maupun bank sentral, terutama di sektor kebijakan moneter.

Rupiah Amblas ke Rp 16.270 per Dolar AS Pagi Ini

Karenanya, bila perang perdagangan yang terjadi pada 2018 dan berlanjut hingga 2019, Dody tidak memungkiri depresiasi terhadap rupiah masih akan terjadi.

"Sangat tergantung dari eksternal. Artinya seberapa cepat pemulihan dari trade war itu. Karena risiko unkown yang sulit dihitung dalam formulasi kebijakan moneter adalah masalah trade war. Itu lah yang harus kita hadapi," ungkap Dody.

Erick Imbau BUMN Beli Dolar AS Besar-besaran, Menko Perekonomian hingga Wamenkeu Bilang Gini 

Selain itu, faktor yang akan memengaruhi hingga di tahun depan, menurut Dody adalah sentimen investor global terhadap ketahanan negara-negara emerging market dalam melakukan pembayaran utang luar negeri akibat pelemahan nilai tukar mata uangnya terhadap dolar Amerika Serikat. Hal ini menurutnya Dody berpotensi menurunkan rating layak investasi suatu negara.

"Jadi issue ini sudah mulai muncul paling tidak di IMF dan diangkat juga lembaga internasional tentang bagaimana ketahanan negara emerging dalam mengelola utang luar negeri," ucapnya.

Meski begitu, Dody menegaskan, untuk risiko sentimen tersebut terhadap Indonesia cenderung kecil, lantaran Indonesia tidak menjadi salah satu negara yang mendapat pengawasan dari investor global.

Hal itu disebabkan karena utang luar negeri Indonesia dikatakannya sudah terjaga stabilitasnya. Di mana, rasio utang terhadap produk domestik bruto Indonesia hanya mencapai 35 sampai 36 persen.

"Dari sisi utang luar negeri, kita relatif terjaga stabilitasnya. Rasionya terhadap PDB, debt ratio kita masih kisaran 35-36 persen, masih aman. Kita juga punya prudential regulation buat non bank koorporasi, kalau mereka pinjam dari internasional persyaratan untuk mandatory hedging, mandatory luquidity, mandatory untuk mereka rating jadi bagian kehati-hatian," jelas Dody.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya