Didik Rachbini Ingatkan Pemerintah, Jangan Anggap Enteng Krisis

Ilustrasi uang rupiah.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

VIVA – Didik J Rachbini, ekonom senior Indef, mengatakan Indonesia tengah mengalami penyakit kritis ganda empat bidang, yakni defisit neraca jasa, defisit neraca berjalan, defisit neraca perdagangan dan defisit primer Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Awal Pekan, Rupiah Dibuka Melemah Rp14.309 per Dolar AS

Didik lantas menjelaskan mulai dari nilai tukar rupiah yang melemah hingga defisit primer APBN. Sebenarnya, menurut dia, pelemahan nilai tukar sudah terjadi 4-5 tahun lalu. Namun, tidak ada upaya kebijakan yang signifikan untuk menahan laju pelemahannya selama 4 tahun terakhir ini atau kebijakan-kebijakan ekonomi yang dijalankan tidak dapat mengatasi pelemahan nilai tukar tersebut.  

Nilai tukar terkuat 5 tahun lalu berada pada kisaran 9 ribu rupiah per dollar Amerika Serikat dan sekarang mencapai 15 ribu rupiah per dollar AS. "Jadi kalau tidak diambil periode sepotong maka pelemahan nilai tukar selama ini mencapai tidak kurang dari 60 persen. Data yang dipakai
sepotong untuk memoles pelemahan nilai tukar adalah 8 persen dihitung cuma beberapa bulan terakhir saja," ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu, 16 September 2018.

Rusia-Ukraina Tak Temui Kesepakatan, Rupiah Melemah Lagi Hari Ini

Menurut Didik, praktik memoles data agar dilihat bagus oleh publik sudah terjadi secara terus-menerus sehingga lupa untuk membuat kebijakan makro yang nyata dan fokus pada masalah. Pelemahan nilai tukar selama 4 tahun terakhir adalah pelemahan yang terjelek. 

Kemudian, muncul kontroversi satu pihak menganggap bahwa nilai tukar sudah masuk ke dalam kawah panas krisis seperti tahun 1998. Sementara pihak lainnya menganggap ekonomi baik-baik saja dan krisis tidak akan terjadi.  

Ukraina Tak Lagi Ngotot Masuk NATO, Rupiah Hari Ini Menguat

Ketua Dewan Pengurus LP3ES ini mengemukakan, kondisinya memang berbeda. Ekonomi pada tahun 1998 bercampur aduk dengan kepenatan politik terhadap kekuasaan yang sudah lama bertahta. Adapun saat ini sistem ekonomi politik Indonesia lebih terbuka sehingga semua kemungkinan terlihat secara transparan.  

Namun, lanjut Didik, hal ini tidak otomatis ekonomi Indonesia bebas krisis dan nilai tukar terkendali. Anggapan bahwa ekonomi Indonesia baik-baik saja dan mencoba memoles-moles data ekonomi makro yang ada justru menjadi bumerang dan bisa menjadi sikap lengah.

Defisit Neraca

Semestinya pelemahan nilai tukar tidak kurang dari 60 persen selama beberapa tahun tersebut secara otomatis dapat menahan laju impor, sehingga bisa memperkuat neraca perdagangan maupun neraca berjalan. Tetapi, menurut Didik, kedua neraca yang sangat penting tersebut jebol
karena terjadi kekosongan kebijakan ekonomi untuk menahan tekanan eksternal, terhadap sektor eksternal dari ekonomi Indonesia.  

"Kita punya masalah akut yang tidak mampu diperbaiki dan tidak ada kebijakan sistematis untuk mengatasinya selama ini, yakni defisit neraca berjalan. Inilah sesungguhnya penyakit struktural yang tidak diatasi dan tidak pernah dicoba untuk dikurangi 'magnitute' defisitnya," ujar Didik.

Menurut Didik, pemerintah membiarkan saja penyakit struktural ini terus berjalan sembari melakukan make up, dengan menyatakan bahwa pengelolaan makro ekonomi dilakukan secara sangat berhati-hati dan pruden. Padahal, defisit neraca berjalan tahun lalu mencapai tidak
kurang dari US$17,3 miliar. Angka itu, lanjut Didik, tahun depan diperkirakan lebih dari US$24 miliar jika kebijakan ekonomi dilakukan secara enteng seperti sekarang.

Penyakit struktural selain defisit neraca jasa, menurut Didik, sudah menjangkiti neraca perdagangan, di mana pada saat ini Indonesia mengalami defisit perdagangan tidak kurang dari US$3 miliar. "Jadi penyakit struktural ini jangan dianggap enteng dengan mengatakan
kebijakan makro ekonomi sudah dijalankan secara berhati-hati dan pruden," ujarnya.

Selain sektor luar negeri, Didik mengemukakan, sektor pemerintah juga mengalami masalah yang sama, yakni defisit primer anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Defisit ini, lanjut Didik, artinya APBN untuk membiayai pengeluarannya sendiri tidak cukup, apalagi untuk membayar utang.  

Menurut Didik, indikator kritis ini adalah tanda-tanda ekonomi Indonesia bukan tidak mungkin masuk ke dalam jurang krisis. "Jangan bermain dan bohong dengan statistik sebab itu buruk untuk mencari solusi kebijakan yang sesungguhnya," ujar Didik.

Dia menambahkan, "Lebih baik kita mengatakan sakit sehingga kita bisa mencari obatnya daripada mengatakan tidak sakit padahal sakit sehingga lupa mencari obatnya". (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya