Meneropong Manfaat Investasi dari China

Ruang Pameran di Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Sumber :
  • Arrijal Rachman/VIVA.co.id.

VIVA –Derasnya komitmen investasi China di negara-negara berkembang dunia dinilai perlu diwaspada. Sebab, realisasinya dan ketepatan tujuan investasi yang dilakukan terkadang pelu dikaji lebih kembali mendalam. 

Motor Delapan Silinder Asal China Siap Meluncur

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mencontohkan Malaysia misalnya. Baru-baru ini mengkaji ulang mega-proyek investasi Tiongkok di negaranya karena dianggap tidak tepat sasaran. Pemerintah Indonesia pun dinilai juga perlu mengkaji ulang investasi-investasi asing di Indonesia terutama investasi Tiongkok.

“Selama ini tidak ada yang mengevaluasi investasi yang masuk dan akan masuk, mana yang dilanjutkan dan mana yang tidak dilanjutkan,” ungkap Enny dikutip dari keterangan resminya, Selasa 16 Februari 2018.

Curhat Jurnalis Asing Kala Bertugas di China

Evaluasi investasi Tiongkok itu menurutnya penting untuk melihat apakah semua investasi yang masuk mengakselerasi ekonomi atau sebaliknya menjadi beban ekonomi. Evaluasi tersebut bisa dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau Kemenko Perekonomian.

Belajar dari Malaysia, investasi Tiongkok dievaluasi secara politik setelah ada pergantian rezim. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa investasi tersebut tidak menguntungkan kepentingan nasional sehingga dibatalkan. Selain itu, investasi tersebut ditengarai sarat nepotisme dan kolusi.

Daftar Negara Sekutu Iran yang Siap Bantu Jika Perang Terjadi, Ada China hingga Rusia

Untuk Indonesia, meskipun tidak ada korupsi dan kolusi, Enny mengatakan bahwa evaluasi investasi asing diperlukan, salah satunya agar investasi asing tidak berimplikasi pada ketergantungan bahan baku impor.

“Termasuk terhadap penyerapan tenaga kerja, kalau kita lihat data pertumbuhan investasi asing dan pertumbuhan tenaga kerja tidak sepadan,” imbuhnya.

Soal tenaga kerja, menurut Enny, yang banyak dikeluhkan dari investasi Tiongkok di Indonesia adalah banyaknya tenaga kerja asing. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya harmonisasi antara Undang-undang Ketenagakerjaan dengan persetujuan investasi baru oleh pemerintah.

“Jadi ada beberapa investasi baru ketika investasinya mencapai sekian miliar dollar AS memang diperkenankan membawa tenaga kerja asing. Tetapi boleh ini tetap harus memenuhi ketentuan yang ada di UU Ketenagakerjaan, bahwa yang diperbolehkan hanya tenaga kerja profesional, nah ini yang mesti ditertibkan,” kata Enny.

Dalam hal ini, ketentuan positioning tenaga kerja asing penting dilakukan sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Diizinkannya tenaga kerja profesional bertujuan untuk knowledge sharing.

Enny menegaskan saat ini investasi yang dibutuhkan Indonesia adalah investasi yang memberikan nilai tambah dan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja terutama sektor manufaktur padat karya. Sedangkan, menurut data BKPM, investasi Tiongkok hanya masuk ke sektor primer dan tersier yakni sektor pertambangan dan sektor jasa.

“Kalau hanya investasi di sektor primer dan tersier itu kan nilai tambah dan kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja tidak sepadan, jadi tidak perlu diberikan karpet merah juga,” katanya.

Menurut data BKPM, terhitung sejak tahun 2011 Tiongkok komitmen investasi Tiongkok mencapai hampir US$53 milliar, namun realisasinya baru mencapai sekitar US$9 miliar atau baru sekitar 16,9 persen sejak 2011. 

Tentunya realisasi komitmen investasi yang cenderung lambat dari investor Tiongkok ini sangat berpengaruh pada rencana pembangunan nasional, apalagi bila investasi yang dijanjikan terkait dengan sejumlah sektor-sektor strategis nasional seperti infrastruktur dan industri. 

Salah satunya, Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang dimotori oleh dua perusahaan Tiongkok yaitu China Railway Group Limited dan China Development Bank, yang  kini terkendala pembebasan lahan dan pencairan dana proyek. Belum ada tanda-tanda dimulainya konstruksi padahal Kereta Cepat Jakarta-Bandung ditargetkan untuk beroperasi pada tahun 2021. 

Contoh lain lambatnya realisasi Tiongkok adalah di sektor pembangunan kawasan industri yang digadang-gadang oleh China Fortune Land Development (CFLD), yang merupakan anak usaha dari BUMN asal Tiongkok. 

Sejak awal masuk Indonesia di tahun lalu, CFLD saat ini telah mengakusisi lahan industri di Tangerang dan Karawang untuk dikembangkan menjadi kota industri terintegrasi. Namun, sampai saat ini belum ada perkembangan signifikan dari kota industri tersebut.

Enny menambahkan, setelah berhasil menarik investasi, pekerjaan rumah Pemerintah berikutnya adalah memastikan realisasi dari investasi itu sehingga nyata kontribusinya bagi pertumbuhan ekonomi dan manfaatnya dapat dirasakan hingga ke masyarakat.

Salah satu investasi asing yang banyak masuk ke sektor manufaktur adalah Jepang. Investasi Jepang juga cenderung lebih berkomitmen, taat dan patuh pada aturan-aturan yang ada. 

Namun, investasi asing tidak boleh mengutamakan negara tertentu saja asalkan sesuai dengan kebutuhan yakni investasi di sektor-sektor yang memberikan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja, terutama sektor padat karya.

“Jadi kalau ada negara yang mau masuk ke sektor-sektor itu kita bisa berikan fasilitasi atau insentif yang mereka minta. Apapun yang mereka minta sepanjang bisa memberikan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja itu tidak melanggar undang-undang,” tambahnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya