Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III 2018 Diperkirakan Tumbuh Melambat

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA – Data pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018 yang akan dirilis Badan Pusat Statistik diperkirakan tidak akan lebih tinggi dari capaian di kuartal sebelumnya. Beberapa ekonom menilai, itu disebabkan konsumsi rumah tangga yang sedikit melambat.

Ribuan Produk Kerajinan RI Bakal Banjiri Pasar Kanada

Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, misal, memproyeksi pertumbuhan ekonomi pada periode itu hanya mampu mencapai 5,14 persen, lebih rendah dari capaian kuartal II-2018 yang sebesar 5,27 persen.

"Konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh melambat tipis dari kuartal sebelumnya namun tetap solid di kisaran 5,1 persen," kata dia kepada VIVA, Senin, 5 November 2018.

Turun 12,76 Persen, BPS Catat Kinerja Impor Maret US$17,96 Miliar Gegara Ini

Perlambatan kinerja konsumsi itu, menurut dia, dikonfirmasi dari data inflasi yang melandai sepanjang periode Juli sampai September 2018. Kemudian laju peningkatan pertumbuhan kredit, serta realisasi belanja sosial yang mendorong belanja masyarakat.

Di samping itu, yang berkontribusi pada perlambatan juga disebabkan oleh laju net ekspor yang terkontraksi dipengaruhi oleh tingginya laju impor dibandingkan laju ekspor sejalan dengan perbaikan laju investasi.

BPS Catat Ekspor Maret 2024 Naik 16,40 Persen Terdorong Logam Mulia hingga Perhiasan

Penopang laju peningkatan konsumsi rumah tangga, katanya, ditandai dengan tren peningkatan dari porsi belanja dari total pendapatan masyarakat sepanjang kuartal III. Lalu pertumbuhan likuiditas perekonomian (M2) pada kuartal III juga cenderung tumbuh stabil di kisaran 6 persen.

Di lain pihak, pengamat ekonomi pada Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira Adhinegara, bahkan memproyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal III-2018 sebesar 5,05 persen.

"Konsumsi rumah tangga pasca-Lebaran kembali ke kisaran 4,9 sampai 5 persen, artinya tidak mampu dorong pertumbuhan yang lebih tinggi. Bunga bank mulai naik, jadi masyarakat lebih menahan diri untk konsumsi barang," ujarnya. 

Selain itu, menurutnya, faktor berikut adalah kinerja ekspor yang tumbuh tapi cukup lambat karena pengaruh proteksi dagang dari India yang menaikkan bea masuk minyak mentah kelapa sawit menjadi di atas 50 persen. Permintaan bahan baku dari negara tujuan ekspor tradisional juga disebutnya masih loyo.

"Efek pelemahan rupiah meski belum menaikan harga barang secara umum namun berpengaruh ke perilaku masyarakat yang menurunkan tingkat pengeluarannya. Selain itu ada ekspektasi kenaikan harga BBM jenis non-subsidi, masyarakat lebih banyak berhemat dan berjaga-jaga," katanya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya