-
VIVA – Menteri Pertanian Amran Sulaiman menjelaskan, kebijakan impor jagung yang dilakukan pemerintah di tengah surplus komoditas pangan itu. Impor yang akan dibuka hanya berkisar 50 ribu ton hingga 100 ribu ton, atau jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 2014 hingga 2016.
"Kita harus berangkat dari 2014. Itu impor kita 3,5 juta ton setara Rp10 triliun. Waktu itu impor biasa-biasa saja, tidak ada gaduh," kata Amran di Pasar Induk Cipinang, Jakarta , Kamis, 8 November 2018.
Dia melanjutkan, pada 2015 masih dibuka keran impor jagung namun dengan volume berkurang menjadi 2 juta ton. Lalu, penurunan volume impor kembali berkurang pada 2016 di mana hanya menjadi 900 ribu ton.
Amran juga memaparkan kondisi pada 2017 di mana impor jagung disetop, dan kemudian pada 2018 di mana Indonesia justru berhasil melakukan ekspor sebanyak 370 ribu ton.
"Dulunya impor dari Amerika dan Argentina. Sekarang pecah telur ekspor, ini sejarah pertama Indonesia mengekspor sebesar itu dan menyetop impor," ujar dia.
Dia kemudian menyinggung munculnya pertanyaan mengapa harus impor jagung 50-100 ribu ton, jika Indonesia bisa ekspor dan produksi jagung masih dinyatakan surplus 13 juta ton.
"Artinya masih surplus kan. Masih berprestasi petani kita, tolong hargai petani Indonesia. Kalau tidak mau hargai saya, enggak masalah. Itu saudara kita sendiri yang berproduksi," katanya.
Ia juga menyampaikan, impor 50 ribu ton tersebut juga tak ada artinya. Menurutnya, impor jagung yang dilakukan sebagai alat kontrol dan stabilitas harga. Nantinya jagung impor ini akan disimpan di Bulog jika harga jagung turun.
"Nah 50 ribu ton ini tidak ada artinya sangat kecil dan ini sebagai alat kontrol saja. Nanti petani jagung marah lagi. Itu nanti disimpan Bulog. Kalau harga turun ini tidak akan keluar. Dan sebentar kita panen raya lagi. Ini sebagai kontrol saja," katanya.