Kasus Meikarta Dinilai Jadi Bukti Birokrasi Perizinan Jadi Beban Usaha

Penggeledahan Kasus Proyek Pembangunan Meikarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rizky Andrianto

VIVA - Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK), M Nur Sholikin, menyatakan pengungkapan dugaan suap perizinan yang melibatkan Bupati dan sejumlah pegawai di Kabupaten Bekasi harus ditindaklanjuti oleh pemerintah untuk memperbaiki proses perizinan usaha di Indonesia.

Meikarta Target Serahterimakan 3.100 Unit Apartemen pada 2022

Ia mengatakan, pengungkapan kasus suap di Bekasi ini menambah daftar kasus suap yang bersumber dari penyalahgunaan kewenangan dalam memberikan izin usaha.

"Selama ini kasus suap perizinan tak hanya terkait dengan usaha pengembangan kawasan tapi juga perizinan di sektor tambang dan insfrastruktur," kata Nur di Jakarta, Sabtu, 10 November 2018.

Konsep Urban Living Meikarta Raih Penghargaan Ini

Menurutnya, berbagai kasus suap tersebut sebenarnya menunjukkan adanya persoalan dalam pelaksanaan kewenangan pemerintah terkait perizinan yang sering menjadi kendala dalam memulai usaha di Indonesia.

"Kasus suap Meikarta dan kasus suap perizinan lainnya menunjukkan ada masalah administrative governance dalam birokrasi kita. Ongkos yang ditimbulkan akibat penyakit birokrasi perizinan menjadi beban besar bagi masyarakat dalam memulai usaha. Di sisi lain, dapat menimbulkan peluang penyimpangan pemberian izin yang tidak akuntabel dan merugikan masyarakat," ujarnya.

Meikarta Tebar Promo Beli Hunian dan Kantor saat HUT RI ke-76

Lebih lanjut, ia menyampaikan, apa yang terjadi di lapangan ini bertolak belakang dengan tujuan perizinan usaha untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan masyarakat. Penyalahgunaan kewenangan pemberian izin ini juga tidak sejalan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo untuk menciptakan kemudahan berusaha di Indonesia melalui Penerbitan Perpres 91/2017.

Oleh karena itu, kata Sholikin, pemerintah saat ini perlu lebih serius lagi untuk memperbaiki birokrasi perizinan mengurangi transaksi izin antara swasta dengan birokrat.

"Tak cukup hanya menyusun pedoman melalui regulasi, tapi pemerintah harus serius turun tangan membenahi birokrasi perizinan. Presiden juga perlu mengoptimalkan kembali kebijakan pemberantasan pungli yang pernah dicanangkan dalam paket revitalisasi hukum tahun 2016 yang lalu. Pungli kelas kakap juga harus ditertibkan," katanya.

Masalah perizinan sebagai penghambat dunia usaha, khususnya penyediaan hunian bagi masyarakat diamini oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR).

Dalam rilisnya kepada media massa, Direktur Jenderal Penyediaan Rumah Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid mengatakan, proses perizinan yang tidak mudah menjadi salah satu penghambat dunia usaha dalam menyediakan hunian bagi masayarakat. Padahal Kementerian PUPR menargetkan untuk memangkas kekurangan pasokan perumahan (backlog) dari 7,6 juta pada tahun 2015 menjadi 5,4 juta pada tahun 2019.

"Sedangkan dari sisi perizinan, prosesnya di beberapa daerah tidak lah mudah sehingga memerlukan waktu yang lama. Kondisinya semakin sulit ketika menghitung harga bahan bangunan yang terus naik tiap tahunnya," ujar Abdul.

Dalam kondisi itu, menurut Abdul, pihaknya pun tak berdiam diri. Menurutnya melalui melalui PP 64/2016, regulasi dibuat untuk mendorong dipermudahnya perizinan perumahan oleh pemerintah daerah. Kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) pun dilakukan guna mendorong pembangunan kota-kota baru. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya