Utang Luar Negeri Turun Bikin Rupiah Menguat

Petugas menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, kembali menunjukkan penguatan. Di pasar spot, rupiah diperdagangkan Rp14.549 per dolar AS, atau menguat 0,43 persen dari perdagangan sebelumnya.

Bank Indonesia Naikkan BI Rate Jadi 6,25 Persen Demi Stabilkan Rupiah

Kepala Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengungkapkan, terus menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, tidak terlepas dari pengaruh sentimen positif terhadap mata uang Asia seperti Yen Jepang dan dolar Singapura.

"Asia Yen dan dolar Singapura, dibuka menguat terhadap dolar US pagi ini, yang bisa membuat rupiah menguat di kisaran Rp14.590 sampai dengan Rp14.610 per dolar AS, dengan tetap dalam penjagaan BI," kata Lana dalam keterangan resminya, Senin 19 November 2018.

Hasil Uji Ketahanan OJK: Perbankan Masih Bisa Mitigasi Pelemahan Rupiah

Tak hanya itu, dia juga menilai, posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia per September 2018, yang mencapai US$359,8 miliar atau turun 0,32 persen secara month to month (mom). Meski secara angka secara secara year on year (yoy), naik 4,23 persen. Penurunan 0,32 persen (mom) turut memberi andil terhadap sentimen positif ke rupiah.

Sebab, turunnya posisi tersebut, karena turunnya ULN Pemerintah. Sedangkan ULN swasta yang meski tercatat naik, namun sebagian besar sudah di-hedging. Selain itu, turut juga kenaikan ULN swasta yang sebagian besar untuk modal kerja dan investasi.

Utang Luar Negeri RI Februari 2024 Naik Jadi US$407,3 MIliar, Ini Penyebabnya

Saat ini, posisi ULN Indonesia tercatat turun tipis menjadi 34,5 persen dari PDB dari 34,75 persen dari PDB pada September 2017.

"Karena ada hedging. ULN swasta kalau di-hedging aman untuk rupiah. Kalau enggak, hedging ULN swasta akan membuat tekanan beli dolar AS yang tidak perlu dan menambah tekanan pelemahan rupiah," jelasnya.

Kemudian, menurutnya, yang menjadi faktor pengerek sentimen terhadap rupiah dan mata uang lainnya adalah pertemuan tingkat tinggi APEC di Papua Nugini pada 17-18 November 2018, yang gagal menyepakati komunike.

Kegagalan ini, merupakan yang pertama sejak pertemuan APEC dilangsungkan, karena perbedaan pendapat mencolok antara China dan AS, terkait perdagangan serta investasi.

"Kegagalan ini mungkin tidak berdampak signifikan terhadap sentimen pasar, tetapi menjadi sinyal semakin sulitnya kesepakatan perdagangan antara AS dan China," jelas dia. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya