Kemenkeu Bantah Klaim Faisal Basri soal Rupiah Menguat Berkat Utang

Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dolar AS di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA – Pejabat Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko atau DJPPR di Kementerian Keuangan mengaku prihatin atas pendapat dari ekonom sekaliber Faisal Basri bahwa menguatnya kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat karena adanya utang baru.

Bank Indonesia Naikkan BI Rate Jadi 6,25 Persen Demi Stabilkan Rupiah

Menurut Direktur Pinjaman dan Hibah dari DJPPR di Kementerian Keuangan, Schneider Siahaan, setelah semester I 2018 Pemerintah tidak lagi menerbitkan SBN Valas hingga akhir tahun ini untuk menutup APBN 2018.

“Dana siaga dari ADB (Asian Development Bank) pun baru merupakan komitmen dan belum ditarik untuk rekonstruksi pasca bencana Palu dan Lombok. Sampai saat ini dana APBN masih mampu untuk membiayainya dan dana siaga itu hanya bersifat pelengkap saja dan ditarik sewaktu-waktu sangat-sangat diperlukan,” kata Schneider, Kamis 6 Desember 2018, dari keterangan tertulisnya. 

Hasil Uji Ketahanan OJK: Perbankan Masih Bisa Mitigasi Pelemahan Rupiah

Data DJPPR, lanjutnya, juga mendapati data kepemilikan asing juga menurun dari awal tahun. Jadi cukup mengherankan bagaimana dapat dinyatakan penguatan rupiah sekarang terkait dengan penarikan utang valas.

Menurut Schneider, secara teori, ada benarnya penarikan utang valas salah satunya akan memengaruhi balance of payment (BOP) dan menguatkan rupiah. “Namun, kali ini, kasusnya beda. Kembalinya Rupiah ke level di bawah Rp15.000 per dollar AS karena pengaruh dari luar dan dalam,” lanjut dia.

Rupiah Amblas ke Rp 16.270 per Dolar AS Pagi Ini

Pengaruh dari luar, salah satunya, isu global yang turut melemahkan indeks dollar Amerika Serikat (AS) terutama akibat pernyataan-pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang dinilai menenangkan pasar perihal pertemuannya dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada akhir November ini.

Kemudian tren penurunan harga minyak mentah dunia yang cenderung drastis juga turut mempengaruhi pergerakan rupiah. Akibatnya, mulai bermunculan berbagai ekspektasi akan kemungkinan The Fed yang akan memperlambat kenaikan suku bunganya menjadi tahun depan, karena pasar melihat perekonomian global yang bergerak melambat dari perkiraan.

Kabar segar juga datang dari KTT British exit (Brexit) yang diadakan pekan lalu. Sebab dinilai menjanjikan karena Inggris dengan Uni Eropa akan membahas rencana pemisahan Inggris dari Eropa pada Maret 2019 mendatang, dan kemungkinan besar akan menghasilkan suatu keputusan yang pasti.

“Hal tersebut masih ditambah keputusan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga 25 basis poin dan adanya pemberlakuan stimulus paket kebijakan ekonomi XVI yang dinilai cukup efektif, sehingga dana asing kembali masuk ke Indonesia,” papar Schneider. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya