Terlalu Mahal, Properti di Jakarta Tak Terbeli

Sebuah apartemen di Jakarta.
Sumber :

VIVA –  Harga properti di Jakarta sudah terlalu mahal. Saking mahalnya, harga ini sudah tak terjangkau oleh pekerja atau keluarga muda. 

Kembangkan Kawasan Hijau, Lippo Cikarang Sudah Tanam 95.427 Pohon

Bahkan, Pakar perkotaan dari Jakarta Property Institute (JPI) Mulya Amri mengatakan, saking mahalnya hunian, selama lebih dari 15 tahun warga Jakarta, sudah tidak lagi mampu membeli rumah di Jakarta. Mereka terpaksa tinggal di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Menurut data Badan Pusat Statistik, lebih dari separuh penduduk Jabodetabek menghabiskan waktu 60 menit untuk menuju kantor. Bahkan, 14 persen di antaranya menempuh waktu lebih dari dua jam. Waktu tempuh yang panjang ini, menyebabkan efek domino yang merugikan: polusi, stres, dan kurangnya waktu untuk keluarga.

Penyanyi Hizrah yang Sempat Viral Kini Sukses Jadi Milyarder di Bisnis Herbal

Menurut Mulya, ada beberapa faktor yang menyebabkan hunian di Jakarta tidak terjangkau. “Terbatasnya lahan dan rendahnya luas lantai yang boleh dibangun, menjadi faktor kunci kurangnya hunian di Jakarta, sehingga harga hunian di ibu kota melambung tinggi bagi seluruh strata ekonomi,” tuturnya, dikutip dari keterangannya, Minggu 16 Desember 2018.

Mulya menambahkan, Jakarta merupakan salah satu kota terpadat di dunia, setara dengan Tokyo (14 ribu penduduk per kilometer persegi). Yang membedakan adalah bagaimana cara Tokyo dibangun. Kepadatan Jakarta dipenuhi oleh rumah-rumah tapak yang tersebar dan berimpitan secara horizontal.

Miliarder di Vietnam Dijatuhi Hukuman Mati Gegara Menipu Bank Rp 697 Triliun

Pembangunan seperti ini menghabiskan lahan dan membuat harga melonjak tinggi. Sedangkan pembangunan di Tokyo, sudah lama menggabungkan low-rise dan high-rise, antara lain dengan pendekatan kawasan berorientasi transit atau Transit Oriented Development (TOD).

Selanjutnya, menurut Mulya, pengurusan izin yang kompleks juga menjadi faktor mahalnya hunian di tengah kota. “Berdasarkan studi JPI1, pengembang harus menempuh waktu hingga 21 bulan dan mengacu pada 39 peraturan mengenai perizinan gedung untuk membangun gedung di atas delapan lantai dengan luas di atas 5.000 meter persegi di Jakarta,” jelas pakar yang memiliki gelar Ph.D. dalam bidang Kebijakan Publik dari National University of Singapore.

Mulya menambahkan, terdapat beberapa solusi untuk menurunkan harga hunian di Jakarta. Pertama, dengan mendorong lebih banyak pembangunan hunian vertikal di pusat kota dan sekitarnya.

Untuk menyiasati biaya tanah yang tinggi, penyediaan perumahan yang terjangkau di pusat kota dan sekitarnya memerlukan subsidi. Jika tidak, perumahan yang terjangkau akan selalu dibangun di lokasi yang tidak menarik dan tidak dapat diakses.

Mulya menyebutkan bahwa selama ini rumah susun subsidi banyak dibangun jauh dari pusat kota, seperti Marunda dan Rorotan, yang berada di Jakarta Utara, karena biaya tanah yang tinggi di dekat pusat kota. Lokasi yang jauh, merugikan masyarakat berpenghasilan rendah, karena sulitnya akses ke pusat kota atau tempat kerjanya.

Sebagai solusi, ia menyarankan, pemerintah Jakarta untuk melibatkan perusahaan milik negara atau provinsi dalam mengatasi permasalahan lahan. “Sebagai contoh, pemerintah dapat membangun rumah susun yang layak bagi calon warga yang berpenghasilan rendah di atas pasar tradisional atau terminal”, ujarnya.

Mulya menambahkan, solusi ini dapat ditawarkan kepada BUMD atau BUMN untuk mendapatkan penghasilan tambahan, “Pasar akan mendapatkan peluang bisnis lebih banyak, keluarga berpenghasilan rendah mendapatkan tempat tinggal di kota,” ujar pria bergelar Master dalam bidang Perencanaan Perkotaan dari University of California, Los Angeles ini.

Selain itu, pemerintah juga diminta memiliki rencana induk yang lebih visioner. Ia mengatakan bahwa rencana induk Jakarta 2030, yang telah diterbitkan di 2014, tidak memiliki visi spasial jangka panjang dan proyeksinya terlalu konservatif. Rencana tersebut mengasumsikan
peningkatan jumlah penduduk Jakarta hanya 20 persen dari 10 juta menjadi 12 juta pada 2030.

Padahal, antara tahun 2000 sampai dengan 2014, DKI Jakarta mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 187 persen. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi tersebut tidak diikuti pertumbuhan ketersediaan hunian yang terjangkau bagi masyarakat. Sehingga, pelaku ekonomi tersebut terpaksa tinggal di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, karena harga hunian di Jakarta terlalu mahal.

Nur Muhammad Gito Wibowo, associate director dari firma arsitektur PDW Architect, menambahkan bahwa dengan terbatasnya lahan di Jakarta, pemerintah harus mulai berorientasi vertikal dengan menambah koefisien lantai bangunan (KLB) pada wilayah-wilayah TOD.

Gito juga mengusulkan, agar pemerintah lebih terbuka terhadap perkembangan kota, namun tetap mengintensifkan pengawasan. “Di beberapa kota di dunia, KLB diperjualbelikan secara resmi dan transparan. Bagi yang tidak ingin membangun, KLB-nya dapat dijual pada tetangganya. Sehingga, kota tetap terbangun dan beban kota tetap bisa dikendalikan,” katanya.

Menurut Gito, hal ini bisa diterapkan pada wilayah-wilayah TOD. Ini yang menyebabkan TOD esensial untuk revitalisasi kota, karena TOD memusatkan kegiatan penghuni kota pada titik-titik transit transportasi publik. Tanpa TOD, MRT atau LRT hanya akan menjadi alat transportasi, bukan alat untuk menciptakan kota yang lebih vertikal dan layak huni untuk semua. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya