Faisal Basri: Freeport Diambil Alih BUMN, yang Gerayangi Lebih Banyak

Pengamat ekonomi dan politik Faisal Basri saat hadir dalam Konferensi Regional Akuntansi di Malang, Jawa Timur, pada Kamis, 3 Mei 2018.
Sumber :
  • VIVA/Lucky Aditya

VIVA – PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) selaku perwakilan Indonesia telah resmi memiliki 51 persen saham PT  Freeport Indonesia. Hal itu ditandai dengan selesainya transaksi pembayaran  yang dilakukan oleh Inalum kepada pemilik saham PT Freeport Indonesia.

Freeport Indonesia Setor Rp 3,35 Triliun Bagian Daerah dari Keuntungan Bersih 2023

Pengamat ekonomi Faisal Basri enggan menyebut selesainya proses divestasi itu merupakan keberhasilan dari Pemerintah Indonesia. Menurut dia, kedaulatan Indonesia tidak ditentukan oleh persentase. 

"Katanya gara-gara 51 persen Indonesia berdaulat. Kedaulatan enggak ditentukan dengan persentase, tetapi Indonesia tetap berdaulat terhadap Freeport karena aturan-aturan bisa kita buat royalti berapa, pajak berapa, Itu kedaulatan," kata Faisal usai sebuah diskusi di Jakarta, Jumat 21 Desember 2018. 

Pemerintah Bakal Tambah Saham di Freeport Indonesia Jadi 61 Persen, Begini Penjelasan Tony Wenas

Menurutnya, setelah Freeport dikuasai BUMN Indonesia maka akan lebih banyak kepentingan yang menguasai tambang tersebut. "Coba, mayoritas di tangan Freeport aja yang gerayangin sudah banyak apalagi yang punya Indonesia yang gerayangin lebih banyak, BUMN, wah ngeri," kata dia. 

Menurut dia, yang disebut sebagai nasionalisme bukan seperti pembelian saham Freeport Indonesia ini. Sebab, menurutnya, pembelian saham Freeport sama saja membeli tambang milik sendiri.

BUMN MIND ID dan Pelindo Dikabarkan Segera IPO

"Saya sedihnya gitu, barang punya kita terus kita beli, terus kita belinya pakai ngutang, yang milik sendiri. enggak mengerti saya, enggak mengerti," kata dia. 

Tak hanya itu, Faisal juga menambahkan bahwa risiko pendanaan Inalum dari global bond lebih berisiko ketimbang pinjaman perbankan. Menurut dia, bunga global bond juga lebih mahal. 

"Global bond bunga lebih mahal. Kalau pinjam di global bonds pinjam ke pasar enggak ada negosiasi kalau asing investornya, ada sentimen ke Indonesia, dia jual besoknya. Harga hancur, masalah," ujar dia. 
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya