Pengamat Sebut Neraca Perdagangan RI 2018 Paling Buruk dalam Sejarah

Inovasi Layanan Pembayaran Ekspor Impor
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi

VIVA – Defisit neraca perdagangan Indonesia pada 2018 menjadi yang terburuk sepanjang sejarah. Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, pada periode itu, defisit ekspor impor menyentuh angka US$8,57 miliar dolar, lebih tinggi dari rekor defisit sebelumnya yang terjadi di 2013 sebesar US$4,07 miliar.

BPS Ungkap Dampak Perang Rusia-Ukraina bagi Neraca Perdagangan RI

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan, defisit itu tidak terlepas dari lonjakan impor yang dilakukan pemerintah sepanjang 2018 di tengah anjloknya harga komoditas global dan pelemahan nilai tukar rupiah. Di samping itu, kinerja ekspor Indonesia dianggap sangat lemah untuk mengimbangi laju impor yang sangat tinggi.

Sepanjang 2018, BPS memang mencatat, laju impor meroket 20,15 persen dari tahun sebelumnya menjadi sebesar US$188,63 miliar. Sementara laju ekspor hanya mampu meningkat 6,65 persen dari tahun sebelumnya ke posisi US$180,06 miliar. Di 2017, laju impor tercatat sebesar 15,7 persen, sedangkan laju ekspor sebesar 16,2 persen.

Neraca Perdagangan RI Februari 2022 Surplus US$3,83 Miliar

Dia mengakui, memang laju impor di 2018 yang didominasi oleh sektor migas tak terelakkan di 2018 akibat harga minyak dunia yang terus mengalami kenaikan karena Indonesia merupakan negara net importir migas. Impor migas Indonesia melonjak dari US$24,3 miliar pada 2017 menjadi US$29,8 miliar pada 2018, atau tumbuh 22,6 persen sementara ekspornya hanya meningkat 2,3 persen.

Meski demikian, pada saat harga minyak turun empat persen selama November-Desember 2018 secara tahunan, ekspor minyak turun lebih tajam 23 persen, sementara impor minyak malah tumbuh 3,5 persen pada periode yang sama (yoy). Hal itu menurutnya disebabkan perbedaan komposisi ekspor dan impor minyak Indonesia. 

BI: Neraca Pembayaran Indonesia Kuartal IV 2021 Defisit US$844 juta

"Ekspor minyak Indonesia, didominasi minyak mentah yang besarnya 75,7 persen terhadap total ekspor minyak, dan harganya lebih murah dibanding minyak olahan. Sebaliknya, 66 persen dari impor minyak adalah minyak olahan," kata dia seperti dikutip dari keterangan persnya, Rabu 16 Januari 2019.

Di sisi lain, lanjut Faisal, sektor non-migas juga menghadapi masalah yang tak kalah serius. Walaupun masih surplus, terjadi penciutan tajam surplus non-migas dari US$20,4 miliar pada 2017 menjadi US$3,8 miliar pada 2018, atau kontraksi sebesar 81,4 persen. Penciutan surplus non-migas itu juga menurutnya didorong oleh dua sisi, pertumbuhan ekspor non-migas yang jauh lebih lambat, sementara impor justru mengalami akselerasi tajam.

Sepanjang 2018, impor non-migas tumbuh 19,8 persen, jauh lebih cepat dibanding posisi di 2017 yang mencapai 13,4 persen. Peningkatan impor memang menurut dia banyak dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah, yang selama 2018 terdepresiasi 7,3 persen. 

Namun, pelemahan Rupiah bukan satu-satunya pendorong lonjakan impor. Terbukti, volume impor non-migas juga mengalami lonjakan sebesar 11 persen sepanjang 2018, lebih pesat dibanding pertumbuhan volume impor pada 2017 yang hanya 6,4 persen. Itu menurutnya menunjukkan peningkatan permintaan domestik belum mampu diimbangi dengan produksi dalam negeri.

Di sisi ekspor non-migas, perlambatan pertumbuhan yang terjadi juga cukup drastis, dari 15,8 persen pada 2017 menjadi hanya 6,25 persen di 2018. Melambannya pertumbuhan ekspor terutama didorong pada ekspor manufaktur yang hanya tumbuh 3,9 persen jauh di bawah pertumbuhan 2017 yang mencapai 13 persen serta ekspor pertanian yang terkontraksi 6,4 persen.

"Penurunan harga komoditas ekspor andalan di pasar dunia menjadi faktor krusial yang mempengaruhi kinerja ekspor non-migas, mengingat 55 persen ekspor masih dalam bentuk komoditas. Sepanjang 2018 harga sawit dan karet anjlok masing-masing -14,9 persen dan -17,9 persen secara year on year," ungkap dia.

Meski demikian, yang menjadi persoalan adalah perlambatan ekspor Indonesia ini diperparah dengan peningkatan impor secara tajam, yang tidak terjadi negara-negara tetangga yang lain. Saat impor Indonesia tumbuh 22 persen, Vietnam hanya tumbuh 11 persen, Filipina 16 persen, dan Malaysia hanya 5 persen. (mus)
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya