Penjelasan Istana Soal Neraca Perdagangan 2018 Capai Rekor Terburuk

Prof Ahmad Erani Yustika
Sumber :
  • twitter

VIVA – Pihak istana menanggapi kondisi defisit neraca perdagangan Indonesia 2018, yang mencapai US$8,57 miliar. Setidaknya, defisit perdagangan ini menjadi yang terbesar atau mencapai rekor terburuk sejak 1975. 

Neraca Perdagangan Januari Surplus, BI: Positif Topang Ketahanan Eksternal Ekonomi RI

Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Ahmad Erani Yustika mengatakan, ada beberapa hal yang perlu dicermati terkait kinerja neraca perdagangan sepanjang 2018. Terkait harga minyak dunia, negara-negara importir minyak, seperti Indonesia diakui tertekan saat harga melonjak. 

"Namun, jika diperhatikan nilai impor minyak sudah mulai menurun sejak November-Desember 2018. Pada Desember 2018, nilai impor minyak hanya US$1,95 miliar, di mana angka tersebut lebih rendah dari Desember 2017," kata Erani dalam keterangannya, Rabu 16 Januari 2019. 

Neraca Perdagangan RI Surplus, BI: Topang Ketahanan Eksternal Ekonomi Indonesia

Menurut dia, kecenderungan penurunan harga minyak saat ini diprediksi akan membantu neraca perdagangan ke depan. Secara umum, kebutuhan impor migas pun cenderung menurun, karena penggunaan B20.

Kata dia, Realisasi volume impor minyak dan gas sepanjang 2018 sebesar 49,11 juta ton, turun dari tahun sebelumnya 50,37 juta ton

Neraca Perdagangan Oktober Surplus, BI: Topang Ketahanan Eksternal Ekonomi

"Patut dicatat bahwa lonjakan nilai impor disebabkan oleh depresiasi rupiah. Sehingga, biaya mengimpor semakin mahal. Sejak November 2018, rupiah sudah menguat dan akan berkontribusi terhadap perbaikan neraca perdagangan ke depan. Menurut Bank Indonesia, nilai rupiah terhadap US$ per November mencapai Rp14.481, jauh lebih rendah dari posisi Oktober 2018 hingga Rp15.227," ujar dia. 

Di satu sisi, Erani menjelaskan, nilai ekspor bisa kembali bergairah setelah mengalami penurunan sejak 2014. Berdasarkan data BPS, nilai ekspor pada 2018, mencapai US$180,05 miliar. Capaian ini terus meningkat dari tahun lalu. 

Diketahui, pada 2014 nilai ekspor tercatat sebesar US$176,29 miliar dan kemudian turun menjadi US$150,36 miliar dan US$144,43 miliar pada 2015 dan 2016. 

"Pencapaian 2018 hampir mendekati 2012 dan 2013 masing-masing US$190,04 miliar dan US$182,55 miliar. Penurunan nilai ekspor sejak 2014 dapat dibalikkan oleh pemerintah," jelasnya. 

Ia melanjutkan, peranan ekspor manufaktur pun meningkat sejalan program hilirisasi produk yang digalakkan pemerintah. Selain itu, pemerintah disebut juga mengeluarkan Kredit Berorientasi Ekspor (KURBE) untuk mendukung ekspor nasional yang dikelola oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia/LPEI (Indonesia Exim Bank). 

"Suku bunga KURBE relatif rendah sembilan persen tanpa subsidi, penyaluran kredit ini bakal terus ditangani," katanya. 

Ditambahkannya, pemerintah juga memberikan insentif bagi investasi sektor hulu untuk mengurangi impor bahan baku dan penolong. Namun, dampaknya disebut baru bisa dirasakan dalam jangka menengah.

Di sisi lain, dominasi faktor global juga jadi pemicu tekornya perdagangan RI sepanjang 2018. Gejolak perang dagang AS-China disebut memperlambat lalu lintas ekonomi dan pertumbuhan dunia. 

"Bagi Indonesia, kedua negara tersebut merupakan pasar penting untuk ekspor. Menurut data BPS pangsa ekspor Indonesia ke China mencapai 15 persen dan ke AS 10 persen. Meski terkena perang dagang, ekspor ke dua negara tersebut masih tumbuh positif masing-masing 14 persen dan tiga persen," tuturnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya