Swasta Punya Tanggung Jawab Bangun Rumah Murah, Begini Penjelasannya

Ilustrasi bisnis properti.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

VIVA – Peran swasta dalam membantu pemerintah membangun rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR, dinilai saat penting saat ini. Sebab, anggaran pemerintah tidak akan cukup untuk memenuhi target tersebut. 

Melantai di Bursa New York, PropertyGuru Raup Dana Segar US$254 Juta

Anggota Komisi V DPR, Yoseph Umarhadi menilai, pembangunan rumah murah bagi MBR tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga swasta sebagai pengembang. Sebab, pembangunan rumah murah tidak hanya berbicara bisnis semata, tetapi juga nilai tanggung jawab sosial perusahaan.

”Rumah murah bagi MBR jadi tanggung jawab juga pengembang, agar kesenjangan backlog (kekurangan ketersediaan) perumahan bisa tekan,” ujar Yoseph dikutip dari keterangan resminya, Rabu 6 Februari 2019. 

Genjot Ekonomi Digital, Lippo Karawaci dan Gojek Kolaborasi

Dia menuturkan, pembangunan rumah murah  merupakan amanat UU Tapera. Di mana, di dalam undang-undang tersebut ada semangat gotong royong untuk menghadirkan rumah menengah kelas bawah bagi semua pengembang. 

Diakuinya pula, saat ini, pembangunan rumah murah bagi MBR oleh pengembang masih minim. Hal ini, karena lemahnya penegakan hukum. Sebab, pengembang lebih memilih membayar kompensasi dengan membayar uang, ketimbang membangun rumah murah karena harga tanah yang mahal tiap tahunnya. 

Menerawang Efektivitas Perpanjangan Insentif PPN DTP Sektor Perumahan

Karena itu, dia menilai, peran pengembang itu masih harus terus di dorong di masa depan. 

Meski demikian, pengamat properti, F. Rach Suherman berpendapat, saat ini sudah banyak pengembang besar yang berkomitmen mendorong program pemerintah tersebut. Salah satunya, Lippo Group melalui PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK). 

Menurut dia, peran Lippo Cikarang dalam pembangunan rumah murah sangat terlihat jelas. "Meski margin di bisnis ini kecil, sehingga tidak menarik bagi lebih banyak pengembang,” kata dia di Jakarta. 

Menurutnya, Lippo sebagai perusahaan properti dinilai tetap kuat dalam pengembangan bisnisnya, meski digoyang dari kasus Meikarta. Apalagi, Lippo adalah pioner dalam memperoleh dana murah dalam pengembangan bisnis propetinya melalui REIT sehingga leluasa melakukan ekspansi. 

“Mereka sedang mengalami musim gugur, tetapi ada musim lain yang akan mampu dilalui,” ujarnya.

Pengalaman Lippo dalam pengembangan kota mandiri, kata Rach, sudah tidak bisa diragukan lagi. Karena itu, pembangunan kota mandiri tidak bisa mundur. Meski beberapa kompetitornya, seperti banyak kompetitor yang menjadi tantangan. 

Lebih lanjut, menurutnya, kota mandiri adalah konsekuensi dari kemajuan kota-kota besar Indonesia. pengembangannya pun harus didorong. Tetapi, seyogyanya tidak mengorbankan lahan produktif. 

Caranya, pemerintah mendorong perizinan yang berpihak kepada membangun vertikal, melalui Koefisien Luas Bangunan (KLB) yang besar (10-17 persen), Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang terukur (40-50 persen), dan parameter yang lebih progresif untuk optimalisasi lahan.

Tahun ini dia berpendapat, bisnis properti akan terjadi rebound pascapilpres April 2019. Namun, tidak akan panjang, karena 2021, cenderung mengalami tekanan lagi, karena banyak faktor mulai dari suku bunga hingga deregulasi perizinan yang mandek. 

Selain itu, tahun ini hingga 2021, akan ditandai dengan jenis-jenis properti yang uptrend (lowrise apartmen, permintaan 3-4 kamar, logistic park/gudang mini dan co-working space/virtual office di luar CBD), dan downtrend (townhouse di Jabodetabek, kondotel, office grade C).

Selanjutnya, kaum milenial belum akan menikmati insentif pasar, sehingga masih akan jadi penonton lagi. Daya beli yang masih rendah dan prioritas belanja yang belum ingin beli rumah, tidak akan membuat developer menyasar secara spesifik pangsa ini. 

Karena itu, dia menilai, pasar optimistis tumbuh, tetapi tidak inpresif atau pertumbuhannya melandai, seperti masa periode 2010-2013 lalu. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya