Infrastruktur Jokowi Tercapai, Fitra: Tapi Celah Korupsi Besar

Pekerja menyelesaikan pengerjaan proyek pembangunan infrastruktur, di ruas Jalan Tol Jakarta-Cikampek, di Bekasi, Jawa Barat, Senin, 17 Desember 2018.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Risky Andrianto

VIVA – Sejumlah proyek infrastruktur berhasil dicapai oleh Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam lima tahun terakhir. Bahkan, sejumlah proyek tersebut, telah membuat indeks daya saing Indonesia naik.

Kemenpan-RB Siapkan 200 Ribu Formasi Calon ASN untuk Ditempatkan di IKN

Tetapi, keberhasilan pembangunan infrastruktur tersebut bukan tanpa cela. Sebab, selain polemik pendanaan infrastruktur yang berasal dari utang luar negeri, proses pengadaaan barang dan jasa (PBJ) proyek infrastruktur yang dilakukan juga mengandung celah korupsi. 

Bahkan, baru-baru ini terungkap kasus korupsi berjemaah yang dilakukan oleh delapan oknum Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) atas pembangunan Sistem Penyedian Air Minum (SPAM) di beberapa daerah. Modus yang dilakukan adalah meminta ‘fee’ proyek hingga 10 persen dari nilai proyek. 

PM Kishida Sampaikan ke Prabowo Jepang Akan Berkontribusi di Infrastruktur dan Energi di Indonesia

Selain itu, pada akhir 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi juga menetapkan dua orang pejabat PT Waskita Karya, BUMN yang bergerak di bidang konstruksi terkait 14 proyek fiktif yang ditangani. 

Proyek-proyek itu antara lain, normalisasi kali Bekasi Hilir Jawa Barat, Banjir Kanal Timur (BKT) Paket 22 Jakarta, Bandara Kuala Namu Sumatera Utara, Bendungan Jati Gede Sumedang Jawa Barat, dan PLTA Genyem Papua. Badan Pemeriksa Keuangan catat kerugian negara ditaksir mencapai Rp186 miliar. 

KIP Perintahkan KPU Beberkan Data Rincian Infrastruktur Teknologi Pemilu 2024

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Akhmad Misbakhul Hasan mengungkapkan, celah korupsi yang banyak dimanfaatkan oleh berbagai pihak adalah anggaran infrastruktur yang bersumber dari Dana Transfer ke Daerah, khususnya Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK Fisik). 

DAK sendiri merupakan alokasi anggaran dari APBN kepada provinsi/kabupaten/kota dengan tujuan untuk membantu daerah meningkatkan kualitas pelayanan publik dasar dan mengurangi kesenjangan antar daerah. Pada 2019, DAK Fisik dianggarkan sebesar Rp69,3 triliun dalam APBN. 

"Celah yang dimanfaatkan untuk ‘mengeruk keuntungan’ adanya DAK Fisik adalah melalui proses pencairannya. Pengajuan pencairan DAK oleh daerah terutama DAK fisik, melalui pengajuan proposal kepada Bappenas dan Kementerian Keuangan serta wajib mendapat persetujuan dari DPR," jelas Akhmad dalam keterangan tertulisnya, Minggu 17 Februari 2019.

Ia menuturkan, proses inilah yang kemudian memunculkan pemufakatan jahat korupsi DAK, misalnya kompensasi bagi DPR bila berhasil mengawal dan mengegolkan pencairan DAK bagi daerah tertentu. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya