APTI Sebut Industri Hasil Tembakau Kontribusi Banyak untuk Negara

Panen tembakau petani Indonesia
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

VIVA – Kontribusi Industri Hasil Tembakau (IHT) terhadap pendapatan negara bisa dikatakan cukup signifikan. Sepanjang tahun 2018 saja, IHT tercatat berkontribusi kepada negara sebesar Rp153 Triliun. 

Revisi PP Tembakau Dianggap Ancam Pemasukan Industri Periklanan dan Kreatif

Selain itu, keberadaan IHT selama ini cukup membantu pemerintah terutama terkait serapan angkatan tenaga kerja yang bisa dibilang sangat signifikan.

"Daerah penghasil tembakau di Indonesia tersebar di 15 provinsi dengan provinsi penghasil tembakau terbesar ada di Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, Jabar dan DIY. Di 15 provinsi tersebut penyerapan petani dan buruh tani tembakau ada sekitar 3 juta  dengan luas lahan tanaman sekitar 235 ribu hektare," ungkap Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji dikutip dari keterangan resminya, Sabtu 1 Juni 2019. 

Pengamat: Revisi PP Tembakau yang Asal Ganggu 5,9 Juta Pekerja

Sementara itu kata Agus, budidaya pertanian tembakau masuk dalam kategori tanaman musiman bukan tahunan. Setiap daerah mempunyai perlakuan budidaya tersendiri sesuai dengan karakteristik kearifan daerah.

Jadi budidaya pertanian tembakau termasuk media pertanian yang ikut membantu Pemerintah dalam hal penyerapan tenaga kerja, sambungnya.

Tolak Kenaikan Cukai Tahun Depan, Ini Alasan Petani Tembakau

"Kalau penyerapan ketenagakerjaan seluruh IHT saya kira banyak sekali mulai dari hulu sampai hilir, di tingkat pertaniannya saja sekitar 3 jutaan. Belum di industrinya juga tidak terhitung hingga sampai ke pedagang asongan juga ikut merasakan bagaimana bisa ikut bekerja sebagai penjual rokok," ujar Agus.

Karena itu Agus mengatakan, pihaknya menyoroti wacana kenaikan tarif cukai rokok oleh pemerintah. Menurutnya, jika kebijakan tersebut diterapkan justru dapat membuat IHT tidak dapat bergairah.

"Ketika cukai di prioritaskan setiap tahun naik maka akan berdampak sangat negatif bagi petani. karena dengan naiknya cukai maka harga rokok akan semakin tinggi, pasar akan makin lama makin lemah akan berdampak pada penyerapan bahan baku lokal," katanya.

Selain itu, Agus juga menilai, perhatian Pemerintah terutama terkait perlindungan tenaga kerja dan petani tembakau saat ini dirasa belum maksimal. Hal itu lah yang membuat industri ini susah berkembang. 

"Budidaya tanaman tembakau oleh Pemerintah masih di biarkan sendiri. Artinya petani menanam sendiri merawat sendiri dan menjual sendiri belum ada bimbingan secara khusus di pihak Pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mendampingi agar hasilnya maksimal," ungkap Agus.

Dan yang paling memprihatinkan, kata dia, petani tembakau masih terhantam oleh gelombang impor tembakau yang sampai saat ini masih di biarkan liar. Sehingga sangat berpengaruh terhadap hasil panen petani nasional. 

Menurutnya, hanya di pertengahan tahun ini pengaturan impor tembakau baru dibuatkan regulasinya oleh Pemerintah lewat kementerian Pertanian dan Perdagangan. Dengan tujuan tujuannya untuk mengontrol impor tembakau agar bisa terdeteksi demi melindungi hasil panen nasional 

"Akan tetapi belum diaplikasikan fungsinya. Semoga di akhir tahun ini bisa direalisaikan aturan tersebut," ujar Agus.

Melihat berbagai persoalan yang terjadi di sektor IHT, Agus pun menyarankan agar pemerintah melakukan beberapa hal atau langkah konkret yang pada intinya adanya keberpihakan pemerintah terhadap sektor IHT.

"Dengan dalih apapun mohon pertanian tembakau untuk dilestarikan jangan di dorong untuk dihilangkan. Secepatnya Pemerintah dalam hal ini Kementan dan Kemendag untuk segera menerapkan aturan pengaturan importasi tembakau dari luar," tegasnya.

Selain itu, Agus juga menyarankan agar pemerintah dalam hal ini Kemenkeu harus menerapkan kebijakan disparitas cukai. Yaitu menerapkan pengenaan cukai lebih tinggi bagi rokok berbahan baku impor. 

"Bila dibandingkan dengan rokok kretek yang notabanenya sebagai penyerap bahan baku lokal atau nasional artinya cukai rokok kretek lebih rendah bila dibandingkan dengan rokok berbahan baku impor," tegasnya.

"Maksimalisasi penggunaan cukai 2 persen yang kembali ke daerah untuk dipergunakan demi kepentingan petani tembakau," tambahnya.

Selain itu dia pun meminta, pemerintah jangan terlalu menekan peredaran produksi tembakau (rokok ) atau terlalu membatasi ruang gerak perokok. Khususnya dengan menekan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

"Karena tembakau sampai saat ini masih di serap industri rokok, kalau ruang peredarannya sangat di batasi akan berpengaruh terhadap penyerapan lokal," tegasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya